Mengambil pelajaran berharga dari anime, berikut hal menarik tentang sinopsis anime Ousama Rangking!

Berkisah tentang Bojji, seorang pangeran muda yang tidak bisa mendengar dan berbicara, bahkan secara fisik ia juga lemah, menjadikan anime ini menjadi sarat akan pembelajaran.

Para penduduk di kerajaannya memandang remeh dan kerap menertawainya. Bojji juga kerap diejek dengan julukan Dame Ouji yang artinya Pangeran Payah.

Dengan segala keterbatasannya itu, Bojji masih tetap mempercayai dirinya, bahwa kelak ia dapat mewujudkan impiannya untuk menjadi Raja terkuat.

Tidak peduli meski banyak yang mengejek dan memandang rendah dirinya. Ia tetap yakin bahwa suatu saat mimpi itu akan menjadi nyata.

Dalam perjalanannya untuk mewujudkan impiannya itu, Bojji menemui banyak permasalahan dan konspirasi yang melingkupi kerjaannya.

Bersama Kage, sahabat sekaligus satu-satunya makhluk yang paling memahaminya, kisah Bojji untuk menjadi Raja terkuat pun bergulir.

Ulasan Anime

Anime ini mendapatkan tanggapan yang sangat baik, kita bisa melihatnya dari penilaian di My Anime List (MAL) di mana anime ini mendapatkan skor 8.8 dan menempati peringkat 30. Pastinya ada beragam pendapat dan penilaian terkait anime ini.

Namun, kali ini saya tidak akan membahas atau mengulas anime ini. Saya jauh lebih tertarik untuk membahas anime ini dari sisi pendidikan.

Kok pendidikan? Ya, benar. Lebih tepatnya saya sangat tertarik dengan kontrasnya cara pengajaran Despa dan Domas kepada karakter Bojji, serta lingkungan pendidikan di mana Bojji tumbuh.

Despa dan Domas sama-sama karakter yang bertugas untuk mengajari Bojji agar menjadi kuat, tapi dua orang ini memiliki cara mengajar yang sangat berbeda satu sama lain, sehingga hasilnya pun berbeda pula.

Yang menarik perhatian saya adalah mengapa di bawah didikan Domas, Bojji tidak berkembang, sedangkan ketika bersama Despa, Bojji justru dapat berkembang, bahkan menjadi yang terbaik.

Dari sini, saya justru menemukan betapa miripnya kondisi ini dengan apa yang terjadi di dunia nyata yang sangat erat kaitannya dengan isu-isu pendidikan.

Bagaimana pendidikan di Indonesia ini kerap mematikan potensi kita sebagai pembelajar. Menilai dari satu standar yang sama, padahal masing-masing dari kita memiliki potensi yang sama sekali berbeda satu sama lain.

Telalu Fokus Memperbaiki Kekurangan daripada Mengasah Kelebihan

Di awal episode, kita akan melihat Bojji yang selalu dibandingkan dengan adiknya, Daida, yang jauh lebih kuat dan lebih pantas menjadi raja. Kita juga akan melihat bagaimana pengajaran Domas terhadap pangeran Bojji.

Di mana Domas yang tak puas dengan perkembangan Bojji yang gitu-gitu aja, ia bahkan nampak jauh lebih tertarik untuk mengajari Daida karena kekuatannya jauh lebih hebat dan jauh lebih mirip dengan kekuatan Raja Bosse, orang yang dikaguminya.

Domas hanya sibuk mengasihani Bojji akan kelemahannya dan membandingkannya dengan kekuatan Daida.

“Sekalipun memiliki kemampuan menghindar yang luar biasa , tanpa adanya kekuatan untuk mengayunkan pedang kecil,  dia tak akan bisa mengalahkan lawannya, benar-benar anak yang malang. Seloah terlahir di bawah bintang yang menahannya agar tidak bisa menjadi kuat.”

Sangat berbeda dengan cara pengajaran Despa, di mana yang pertama kali ia lakukan adalah mengenali terlebih dahulu bagaimana karakter Bojji, muridnya.

Mengetahui apa kekurangan dan kelebihan Bojji. Kemudian pengajaran mental, bagaimana mindset seorang pembelajar yang seharusnya. Barulah setelah itu kegiatan belajar dimulai.

Demikianlah seharusnya pendidikan itu, bukan sekadar membagi wawasan dan pengetahuan semata, melainkan untuk menjadikan manusia yang lebih baik.

Selain itu, dari sini pula ditemukan betapa relevannya kondisi Bojji dengan kondisi kita di dunia nyata. Di mana kita seringkali terlalu fokus mempelajari bidang yang tidak kita kuasai.

Misalnya saja, nilai kita jelek di pelajaran matematika, sedangkan di pelajaran Bahasa Inggris sangat bagus. Kebanyakan dari kita pasti akan mengambil les matematika agar nilainya bagus, dibanding les Bahasa Inggris, kan?

Standarisasi dan Sulitnya Menjadi Diri Sendiri

Jika dalam anime Ousama Ranking, kekuatan adalah standar penilaiannya apakah termasuk orang kuat atau lemah, maka di dunia nyata nilai akademik kita adalah standar penilaiannya, apakah kita ini termasuk orang yang cerdas atau bodoh.

Padahal, masing-masing dari kita memiliki potensi dan bakat yang berbeda satu sama lain.

Orang-orang di sekitar Bojji menilainya sebagai orang lemah hanya karena keterbatasannya dan fisiknya, tanpa melihat kelebihan Bojji.

Sama halnya dengan kita, kita kerap kali dinilai sebagai orang bodoh hanya karena tidak pandai di suatu bidang. Seolah satu sisi kelemahan itu menutupi segala kelebihan yang kita miliki.

Standarisasi adalah masalah pendidikan di Indonesia sejak lama. Einstein pernah berpendapat, “Semua orang jenius. Tapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa dirinya bodoh.”

Ada pula Pandji Pragiwaksono pernah berkata, “Jahatnya pendidikan Indonesia adalah ketika setiap anak tidak yakin bahwa dia berbeda dengan orang lain.”

Menyerah pada Keadaan

Dengan sistem pendidikan yang kerap kali jauh lebih memilih untuk memperbaiki kekurangan daripada kelebihan, standarisasi, minimnya pengetahuan kita akan potensi diri, maka tidak mengherankan jika banyak dari kita yang menyerah pada keadaan. Menyerah ketika label bodoh atau payah tersemat.

Dalam anime Ousama Ranking, semua orang memberikan label bodoh, payah, atau lemah pada Bojji. Sebagai seorang Pangeran, ia dinilai tak pantas sama sekali untuk menjadi Raja.

Rasanya sangat masuk akal jika ia menyerah saja pada keadaan. Namun, pada kenyataannya ia tidak menyerah. Bojji adalah karakter dengan hati dan mental yang kuat.

Meski banyak yang meremehkannya, ia tetap percaya bahwa suatu saat mimpinya untuk menjadi Raja Terkuat akan tercapai.

Despa pernah berkata pada Bojji, “Bakat orang itu memang biasa saja, tapi dia memiliki hal penting. Yaitu keberanian. Keberanian untuk melangkah maju. Keberanian untuk menghadapi masalah. Keberanian untuk mempercayai orang lain. Keberanian untuk menyakini diri sendiri. Sebanyak apapun orang lain mengejek dan menertawakannya, dia meyakini dirinya, pikiran, dan tindakannya dan tetap melangkah maju.”

Barangkali memang yang kita butuhkan adalah keberanian. Keberanian untuk tidak menyerah pada keadaan.

Editor: Lail

Gambar: Google