Seperti remaja lain yang pada usianya memiliki keinginan untuk memberontak, saya pribadi sebagai seorang remaja memiliki perasaan tersebut. Sebagai contohnya, saya pernah berkali-kali tidak masuk sekolah dengan alasan malas. Kemalasan berangkat sekolah yang berawal dari keinginan untuk berontak dan bebas, kemudian berkembang jadi pikiran serius kala melihat teman teman lain yang juga malas. Lama-kelamaan apa yang saya lakukan ini membuat saya berpikir. Sebenarnya, apa yang salah dari sekolah?
Selain melihat teman-teman satu sekolah, saya juga melihat teman teman lain di luar sekolah yang juga kadang bertemu saat keluar pada jam pelajaran. Pengalaman ini menjadikan saya semakin penasaran dan kepikiran. Walau tidak mengobati rasa malas saya bersekolah, namun setidaknya pencarian akan rasa mengganjal ini menemukan sedikit titik terang.
Pengertian Pendidikan
Saya memulai pencarian dari definisi pendidikan yang paling mendasar. Pendidikan adalah pembelajaran terhadap suatu pengetahuan, keterampilan, atau kebiasaan sekelompok manusia yang diajarkan secara menurun, melalui media pengajaran, pelatihan, maupun penelitian terhadap suatu masalah.
Secara etimologi, pendidikan berasal dari Bahasa Latin ducare yang berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan e yang berarti keluar. Jadi, pendidikan bisa berarti “menuntun keluar/mengarahkan keluar/memimpin keluar”. Setiap proses pendidikan yang memiliki efek membentuk cara berpikir dan bertindak.
Pada tingkat global, pasal 13 Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Meskipun pendidikan wajib di sebagian wilayah sampai usia tertentu, namun pendidikan tidak hanya didapat dari sekolah, melainkan juga dari pendidikan orang tua terhadap anaknya. Apa yang Salah dari Sekolah?
Apa yang Salah dari Sekolah?
Misalkan, ketika orangtua mengamanahkan kepada sekolah soal pendidikan formal semisal pelajaran eksak seperti matematika dan IPS, serta pelajaran non-eksak seperti olahraga dan seni budaya. Pendidikan formal di sekolah juga harus mencakup bimbingan konseling sebagai pegangan dan dasar pemikiran anak usia remaja di sekolah.
Kasus yang kerap terjadi, peran guru konseling di sekolah sering meremehkan tugas dan tanggung jawab yang diemban sebagai faktor pengembangan diri anak usia remaja. Sikap abai terhadap pembentukan pola pikir siswa mengakibatkan para siswa terkejut pada saat memasuki jenjang berikutnya, baik kuliah maupun kerja. Karena tidak mendapat bimbingan konseling yang memadai ketika sekolah.
Perbaikan menyeluruh dibutuhkan. Perbaikan mencakup tenaga pendidik yang mumpuni dan sistem pendidikan yang sistematis. Jika kedua perbaikan tersebut dilakukan, tentu akan membantu menghasilkan lulusan sekolah yang tidak hanya menyandang ijazah tamat sekolah, melainkan juga ilmu yang berguna bagi dirinya pribadi maupun lingkungannya.
Tanggung jawab orang tua di rumah sebagai pendidik non-formal, harus bisa mencakup pembelajaran yang tidak diajarkan di sekolah formal. Manajemen diri dan manajemen waktu merupakan salah satu contoh dasar dalam pendidikan non-formal yang semestinya diajarkan oleh orangtua di rumah.
Sayangnya, sikap abai dari orangtua mengenai anak usia sekolah masih menjadi hambatan bagi kemajuan pendidikan bagi anak. Misalnya, pendidikan reproduksi pada anak usia remaja, yang seharusnya diperhatikan lebih serius sebagai pemenuhan kebutuhan anak usia remaja. Maraknya seks bebas tanpa pengetahuan mengenai hal tersebut secara komprehensif, berakibat pada pernikahan dini karena kehamilan di usia remaja.
Kurangnya pendidikan dan pengawasan orang tua terhadap anak usia remaja, berakibat pada berbagai macam kenakalan remaja yang seringkali terjerumus ke dalam perilaku nakal yang tidak wajar.
Lalu Apa Sekarang?
Pendidikan tidak hanya mencakup tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan termasuk di dalamnya pendidikan etika dan moral. Sebagian contohnya adalah pendidikan tentang kepedulian terhadap sesama dan kemanusiaan. Yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia hanyalah pendidikan tentang ilmu pengetahuan, dan teknologi, semua itu dikedepankan oleh orang tua dan guru yang terlibat dalam proses pendidikan.
Aspek yang dicari di sekolah hanyalah aspek nilai dan kepintaran dalam pelajaran eksak/ilmu pasti. Pelajaran etika dan moral yang seharusnya menjadi dasar pembelajaran malah diabaikan oleh sebagian pelaku pendidikan. Pendidikan di Indonesia masih kurang dalam pemerataan sistem pendidikan. Menurut David Popenoe, ada 5 macam fungsi pendidikan: 1) transmisi (pemindahan) kebudayaan, 2) memilih dan mengajarkan peranan sosial, 3) menjamin integrasi sosial, 4) sekolah mengajarkan corak kepribadian, dan 5) sumber inovasi sosial. Menurut penulis, pendidikan di Indonesia masih belum bisa menjalankan fungsi pendidikan sebagai yang tersebut di atas tadi.
Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia masih kurang memadai untuk menunjang pendidikan berjalan sebagaimana mestinya. Penanaman etika dan moral yang harus ditanamkan sejak dini, tidak bisa ditampung oleh sistem pendidikan seperti sekarang ini. Demi kemajuan bangsa, kita harus bergerak keatas, dan mendobrak paradigma masyarakat tentang pendidikan. Agar ke depan tidak perlu lagi ada siswa-siswa seperti penulis yang malas sekolah karena pendidikan yang terasa membosankan bagi para remaja.
Penyunting: Halimah
Sumber gambar: peduly
Comments