Kebiasaan curhat memang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, terutama di kalangan anak-anak remaja yang sekarang sedang berada di fase seperempat abad. Aktivitas curhat agaknya sudah menjadi fasilitas primer mereka dalam menangani sebuah masalah. Curhatan itu hadir biasanya dikarenakan mereka sudah tidak tahan lagi menangani masalahnya secara sendirian. Oleh sebab itu, curhatan cenderung diutarakan kepada orang-orang terdekatnya, seperti misalnya ke keluarga, saudara, ataupun yang lagi masyhur dengan sebutan bestie-nya.
Nah, sejauh ini, umumnya kita tahu tentang curhat, bahwa citra baiknya adalah sebuah aktivitas yang dapat membantu, atau setidaknya dapat mereduksi kegundahan suasana hati seseorang. Namun, citra dari aktivitas curhat bukan berarti absolutely baik. Ia bisa saja menjadi buruk, ketika sebuah curhatan itu mereka utarakan kepada orang yang tidak bisa memahami. Orang-orang yang tidak bisa memahami ini biasanya karena sikap mereka yang mendang-mending; hobi mengadu nasib; atau meremehkan sebuah permasalahan ketika dicurhati. Walhasil, karena ketidakpahaman mereka, orang-orang itu dianggap sebagai orang toxic. Dan hal itu, tentu menjadikan aktivitas curhat bukan malah membantu, tapi menambah permasalahan yang baru.
Betulkah Toxic?
Tapi, betulkah kalau orang-orang yang engga bisa mendengarkan curhat itu dianggap sebagai orang toxic?
Untuk membahasnya, maka sebaiknya kita harus ngerti dulu nih, apa itu yang disebut curhat. Kata curhat itu sendiri kan, berasal dari akronim curahan hati. Nah, berhubung di berbagai literatur belum menjelaskan secara pasti terminology dari curhat, maka kita artikan saja secara leterlek dan secara KBBI. Jadi, curahan hati artinya menceritakan; menumpahkan sesuatu/cerita yang ada di hati kepada seseorang. Kalau kita telaah, yang ada di hati itu kan, berarti sesuatu yang ada di dalam; sangat personal. Jadi, mungkin itu yang akhirnya KBBI menjelaskan bahwa curhat ialah tindakan bercerita kepada seseorang secara personal.
Bagaimana Menanggapi Curhatan ?
Kalau curhat sudah kita pahami sebagai tindakan bercerita secara personal kepada seseorang, maka pertanyaannya adalah, ketika kita curhat, itu apakah secara definitif berarti yang dicurhati harus bisa memahami? Harus bisa ngerti tanggapan-tanggapan yang kita mau sebagai si pencurhat? Enggak, kan. Nah, inilah yang akhirnya saya kadang ngerasa jengkel dengan orang-orang yang seenaknya sendiri curhat ke seseorang, lalu ketika seseorang itu engga bisa memahami; menanggapi apa yang dimau si pencurhat, tanpa tedeng aling-aling orang itu dianggap toxic. Lantas, nyindir sana-sini dengan quotes-quotes di twitter tentang orang toxic yang engga bisa memahami sebuah curhat.
Biasanya orang yang menganggap toxic itu responnya begini: Orang mau curhat, malah dibanding-bandingin; mereka yang engga bisa memahami curhat itu, setidaknya pahami kalau perasaan orang itu beda-beda, jadi biar engga seenaknya sendiri menyamaratakan perasaan orang. Kalau kita coba telaah, kira-kira siapa sih, yang sebetulnya engga bisa memahami perasaan orang itu beda-beda? Siapa sih, yang sebetulnya itu nge-judge orang seenaknya sendiri?
Saling Memahami
Sekarang okelah, kalau kita melihat dari sisi orang yang menerima curhat, kadang kala memang mereka engga bisa memahami perasaan. Tapi, kalau kita sebagai si pencurhat, pun harus bisa memahami dong, bahwa perasaan dan pikiran orang yang kita curhati itu juga beda-beda. Kita harus paham juga dong, bahwa ketika kita curhat, bukan berarti kita seenaknya sendiri menyuruh orang lain bisa memahami dan harus mengerti tanggapan yang kita mau sebagai si pencurhat. Iya, enggak?
Kalau misalnya disanggah: Loh, kalau curhat dilihat secara rasional, memang sebagai si pencurhat engga berhak memaksa agar bisa dipahami. Tapi, kalau secara perasaan, harusnya mereka bisa memahami, bahwa curhat itu secara psikologis menginginkan untuk bisa dipahami?
Manusia Bijak
Iya, betul. Tapi sebagai manusia yang dikaruniai akal dan hati, harusnya kita juga bisa dong, memahami sesuatu itu secara bijak. Artinya, kita harus bisa melihat sesuatu itu secara menyeluruh berdasarkan pertimbangan akal dan hati yang seimbang. Jadi, kalau kita mau dipahami, kita pun harus bisa memahami.
Ah, lu ribet. Curhat aja segala pakek dalih-dalih bijaksana. Curhat ya curhat, engga usah dijelaskan kalau orang yang curhat juga harus bisa memahami…
Iya, sih, ribet. Tapi menurutku, itu yang seyogianya kita pahami dalam hal curhat. Agar supaya kita engga selalu bergantung kepada orang lain, pun engga selalu menyalahkan orang lain ketika menerima sakit hati. Bukan maksud ku menyuruh untuk jadi individualis atau anti sosial. Tapi, hari-hari ini kawan-kawan kalau aku perhatikan, seakan-akan kebahagiaan itu mereka gantungkan kepada orang lain. Padahal, kebahagiaan itu, ya, tergantung diri kita sendiri; tergantung dari bagaimana kita menerima suatu keadaan dengan manajemen akal dan hati itu secara proporsional.
Mendengarkan Curhat Bentuk Empati
Kalau melihat penjelasan di atas, seolah-olah curhat itu bukan lagi sebagai fasilitas menumbuhkan kemanusiaan, tapi malah potensial menghadirkan perpecahan. Pikir saya: Kalau mau curhat dan absolutely ingin mendapatkan respon yang solutif, maka curhatlah ke psikolog/psikiater/orang-orang yang ahli dalam bidang masalah tertentu. Bukan malah curhat ke orang atau teman, yang seakan-akan kita paksa harus bisa menjadi seorang ahli membaca pikiran dan perasaan. Orang yang kita curhati itu, ya, tidak tahu, bagaimana cara menanggapi curhatan yang kita mau. Kalaupun mereka tahu bahwa sikap mereka itu salah, engga mungkin juga kok, kalau mereka memilih sikap yang katanya toxic tadi. Manusia itu selalu ingin milih yang benar, tidak mungkin ingin milih yang salah. Hanya saja perihal benar dan salah, itu kadang kala berbeda angle-nya; berbeda cara pandangnya; perspektifnya. Walhasil, kita yang melihat dengan cara pandang yang berbeda, melihat sesuatu itu seolah-olah salah.
Tidak Selalu Menjadi Toxic
Jadi, mari kita sudahi, pikiran-pikiran tentang orang toxic, hanya karena mereka engga bisa memahami sebuah curhatan. Ya, memang mereka secara personal adalah orang toxic Tapi, ketika kita nge-judge orang itu sebagai orang toxic, bukankah kita juga sama, karena tidak bisa memahami mereka; tidak bisa melihat lewat perspektif yang lain? Toxic itu sebenarnya tidak akan menyakiti kita kok, bila kitanya sendiri tidak memberinya ruang. Dengan kata lain, kita ini bisa mengontrol; membuat asumsi terhadap sikap toxic mereka menjadi tidak toxic. Caranya, ya dengan memahami; melihat sikap mereka lewat perspektif yang objektif.
Kalau misalnya ditanya: Apakah jadi egois kepada diri sendiri, karena hanya kita yang memahami mereka? Maka, itu sebuah pilihan. Bila ingin bahagia dan tidak mau sakit hati ketika curhat kepada orang yang salah, ya, kita harus bisa memahami. Namun, bila pengen terus bahagia karena ingin selalu dipahami, ya, pertahankan sikap arogansi.
Editor : Faiz
Gambar : Pexels
Comments