Sejak kecil saya hidup di lingkungan keluarga yang agak berwarna.
Iya, bapak saya adalah warga Nahdliyin, seorang guru di Pesantren NU, dan mantan ketua Banser.
Beliau adalah NU tulen yang tak bisa diperdebatkan.
Sedangkan ibu saya merupakan warga Muhammadiyah. Menempuh pendidikan dalam naungan Muhammadiyah.
Dan kalau tak salah ingat, ayah dari ibu saya adalah mantan ketua ranting Muhammadiyah. Meski demikian, keluarga kami bisa dibilang cukup harmonis.
NU dan Muhammadiyah
Sependek ingatan saya, memang sering sekali saya menyaksikkan ayah dan ibu menyampaikan ketidaksetujuannya satu sama lain, khususnya masalah hukum Islam.
Tapi ya, hanya sebatas menyampaikan saja. Tak pernah sampai adu dalil atau bahkan adu jotos.
Kenapa? Karena ayah dan ibu saya sepakat bahwa sejatinya baik NU maupun Muhammadiyah adalah sama. Iya, sama-sama Islam.
Karena itu, saya agak mengernyitkan dahi ketika melihat fenomena di media sosial tentang kerukunan umat beragama.
Banyak kita saksikan aktivitas saling mengkafirkan hanya sebab berbeda dalam sudut pandang tertentu. Sunggah ironi sekali.
Edukasi Toleransi
Dalam masalah toleransi, saya sepakat kalau pendidikan keluarga memang kunci. Saya cukup beruntung tumbuh dan besar di lingkungan keluarga seperti ini.
Bapak dan ibu saya memang tak pernah menjelaskan apa itu toleransi secara definitif dan gamblang, apalagi dengan detail.
Tapi sikap mereka terhadap suatu peristiwa sudah cukup mengajarkan saya akan sebuah makna dari keberagaman.
Saya ingat dulu ketika lebaran ternyata jatuh di hari yang berbeda menurut NU dan Muhammadiyah.
Ini menjadi masalah karena kami punya punya prinsip kalau mengunjungi rumah kakek-nenek lebih baik di hari pertama.
Namun momen tersebut tidak membuat ayah dan ibu saya berdebat sepanjang malam. Tapi langsung mengambil jalan tengah.
Misalnya Muhammadiyah sudah lebaran duluan, maka ketika malam takbiran versi NU, kami sekeluarga mengunjungi rumah kakek-nenek dari ibu untuk salam-salaman.
Ini merupakan jalan tengah yang cukup bijak bagi saya. Di satu sisi, kami tetap memegang teguh prinsip tersebut, di sisi lain, bapak yang sebagai warga NU juga bisa legowo karena sudah terdengar suara takbiran versi NU yang menandakan sudah hari raya.
Selain itu, kami bahkan tak pernah melakukan debat secara serius tentang amaliyah keagamaan yang menyangkut prinsip, seperti bacaan qunut pada salat shubuh, dzikir secara keras setelah salat, atau jumlah rakaat salat tarawih.
Kami meyakini bahwa hal-hal semacam itu bukan sebuah perbedaan yang krusial dan perlu untuk dibuat perdebatan yang menghabiskan waktu, energi, dan pikiran. Sungguh sebuah kesia-siaan.
Diskusi dan Komunikasi
Meski tak suka debat, tapi bapak dan ibu saya sering sekali melakukan diskusi. Sebuah metode yang bagi saya cukup membantu dalam menyikapi permasalahan dengan bijak.
Debat dan diskusi adalah dua hal yang berbeda. Debat adalah menang kalah, sedangkan diskusi adalah seni mendengarkan sudut pandang dan saling menerima.
Dari pengajaran tak langsung tentang toleransi tersebut, membuat saya meyakini bahwa dalam perbedaan sebenarnya tak perlu saling menyalahkan.
Bekal yang berharga ini tetap saya pegang sampai secara kebetulan menjadi anak kos di lingkungan yang mayoritas beragama Kristen.
Saya membayangkan jika tak punya bekal yang cukup tentang toleransi, mungkin selama di sana, alih-alih membaur dengan masyarakat, bisa saja semua warga saya kafirkan. Aduh, semoga saja tidak terjadi.
Penetapan Awal Ramadan
Pengalaman tersebut membuat saya selalu menarik napas panjang ketika masih saja menemukan pertikaian yang saling mengklaim dirinya benar.
Misalnya, yang baru-baru terjadi, yakni perbedaan penentuan awal ramadan. Meski tak terlalu memanas, tapi gesekan terhadap perbedaan ini sering sekali terjadi.
Story di media sosial mendadak berubah menjadi perkuliahan dengan materi metode penentuan awal bulan dalam Islam.
Jujur saya agak terganggu. Ya, gimana, di saat bangsa Eropa sudah meneliti kehidupan lain di luar bumi, atau bangsa China yang sudah mulai membuat proyek matahari buatan, lah kita masih memperdebatkan hal yang seperti ini tiap tahun?
Sebagai anak dari seorang bapak NU dan ibu Muhammadiyah yang tetap hidup dengan baik-baik saja, saya hanya ingin bilang kalau NU dan Muhammadiyah bukan agama, bukan pula aliran. Hanya sebuah organisasi masyarakat.
Selanjutnya kalau boleh, saya juga ingin mengingatkan kalau perbedaan itu sebuah keniscayaan. Ketika ada yang berbeda bukan berarti ia salah.
Ibarat hanya karena Anda memakai sarung, maka orang yang pakai jubah tidak otomatis menjadi salah. Esensinya kan sama: menutup aurat.
Sama dengan kedua ormas tersebut, esensinya sama: Islam. Mengubah sebuah persepsi memang bukan tugas yang mudah.
Tapi saya memiliki keyakinan berkali-kali lipat, jika toleransi diajarkan di lingkungan keluarga secara kompatibel, maka dalam beberapa tahun berikutnya, kita akan melihat wajah Indonesia yang penuh dengan warna dan penerimaan.
Editor: Lail
Gambar: Google
Comments