Dunia digital membawa perubahan yang cukup besar dalam realitas sosial. Bukan hanya pada masyarakat perkotaan, perubahan tersebut juga terjadi pada masyarakat yang berada di pelosok. Kehadiran dunia digital telah menghapus batas-batas teritorial setiap negara. Siapa pun kini bisa mengetahui (bahkan mungkin ikut memperbincangkan) isu-isu nasional maupun internasional. Penyebaran arus informasi kian tak dapat dibendung. Dahulu mungkin sebuah berita aktual datang dalam hitungan hari, tapi sekarang berita aktual terus berdatangan dalam hitungan jam.
Kendati demikian, minat baca masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Sebaliknya, masyarakat kita justru cenderung cerewet di media sosial.Wah! Lha ini yang bisa dianggap sebagai masalah. Sedikit membaca, banyak menerka. Akibatnya apa? Ya, lahirlah golongan orang-orang yang disebut buzzer yang kelakuannya nggilani itu. Ya…..namanya juga mencari sesuap nasi, cara yang bisa digunakan ada sangat banyak. Seperti yang dikatakan Bang Haji Rhoma, “Seribu satu macam cara orang mencari makan. Dari menjual koran sampai melakukan penjilatan menjual kehormatan”.
Oke! Kembali ke dunia digital. Dalam ranah digital, faktanya informasi yang disuguhkan tak seluruhnya bisa dipercaya. Contoh yang paling banyak ditemui tentu saja hoaks. Dampak dari hoaks tak bisa dipandang sebelah mata. Merugikan? Iya. Menyesatkan? Tentu saja. Oleh sebab itu, guna meminimalisir dampak negatif hoaks―juga entitas berbahaya lainnya―diperlukan adanya kemampuan literasi digital. “Literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet, dan lain sebagainya”, begitu kata Devri Suherdi dalam buku Peran Literasi Digital di Masa Pandemi dikutip kompas.com.
Masalahnya sekarang adalah nggak semua pengguna internet memiliki kecakapan literasi digital. Saat ini pengguna internet tak terbatas pada usia tertentu saja. Hampir seluruh kalangan, termasuk orang tua dan anak kecil, tak ketinggalan memakai internet. Dua golongan yang disebut tadi―orang tua dan anak-anak―masih sangat minim literasi digitalnya. Jangankan punya kemampuan, mendengar istilah “Literasi Digital” saja mungkin mereka sangat jarang. Akibatnya hal-hal negatif di internet tetap tak terelakkan. Hoaks masih saja tersebar, anak-anak banyak menirukan hal-hal yang sebenarnya kurang pantas ditiru.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu jagat maya ramai dengan “Salam dari Binjai” yang…..kita sudah tahu lah kontennya seperti apa. Kegiatan yang dilakukan Paris Pernandes (pencetus “Salam dari Binjai”) dalam video-video yang diunggahnya ternyata ditirukan oleh banyak anak kecil di berbagai wilayah. Alhasil muncullah fenomena kerusakan pohon pisang dalam jumlah yang tak sedikit. Hal tersebut merupakan buntut dari anak-anak yang menjadikan pohon pisang sebagai samsak tinju, yang mana mereka meniru apa yang dilakukan oleh Paris Pernandes. Hal tersebut merupakan sebuah keniscayaan karena anak-anak memang cenderung belajar dari apa yang dilihat dan didengar dengan cara menirukannya.
Namun, perlu dicatat bahwa yang menjadi keniscayaan adalah proses belajar anak-anak, bukan perusakan terhadap lingkungan (dalam hal ini pohon pisang). Artinya, fenomena perusakan pohon pisang oleh anak-anak ini bisa dicegah, dan memang sudah seharusnya dicegah. Generasi milenial sebagai pihak yang (semestinya) memiliki kecakapan literasi digital bertanggung jawab akan hal tersebut. Kita, mau-tidak mau, harus memberikan edukasi pada anak-anak bahwa tak semua yang ada di dunia maya boleh ditiru. Kita bisa memberitahu mereka bahwa ada banyak hal lain yang lebih positif dan lebih patut ditiru, misalnya membuat kerajinan tangan. Memang agak merepotkan sih, tapi kita tentu nggak bisa menutup diri akan tanggung jawab tersebut.
Tak berhenti di situ. Tanggung jawab generasi milenial terkait literasi digital juga ada dalam ranah orang tua. Bila dicermati, sikap mayoritas orang tua pengguna internet hampir nggak beda jauh dengan sikap anak-anak waktu baru kenal internet. Mereka (para orang tua) cenderung mempercayai segala yang ada dalam semesta digital. Akibatnya mereka nggak ragu untuk menyebarkan segala hal yang mereka temui tanpa peduli sumbernya. Mereka kesulitan membedakan mana fakta dan mana berita yang dimanipulasi semata. Mereka kemudian secara tidak langsung menjadi aktor penyebar hoaks, dan mereka belum sadar akan bahaya yang timbul dari perbuatan mereka itu. Lagi-lagi peran generasi milenial sebagai pemilik kecakapan literasi digital sangat dibutuhkan di sini.
Kalau ada yang bilang bahwa generasi milenial nggak punya kontribusi apa-apa dalam kehidupan, saya sangat tidak setuju. Faktanya peran generasi milenial tak bisa dinafikan kaitannya dengan literasi digital. Sebab, pihak yang paling memahami seluk-beluk dunia digital tentu saja adalah mereka, bukan anak-anak maupun orang yang sudah tua. Beban yang dipikul generasi milenial terhadap literasi digital ternyata nggak hanya satu, melainkan tiga. Beban itu meliputi literasi digital bagi diri sendiri, bagi anak-anak, dan bagi orang tua. Waduh…..sepertinya beban generasi milenial lebih berat dari rindunya Dilan ke Milea. Kira-kira gimana, brader? Kuat nggak?
Editor: Ciqa
Gambar: Pexels
Comments