Teruntuk kalian yang senantiasa memasang alarm di tengah malam demi bisa menyaksikan tim sepak bola Eropa berlaga. Untuk kalian yang senantiasa mengumpulkan pundi-pundi uang demi membeli tiket ke stadion, hingga membeli merchandise. Dan untuk kalian yang rela berdebat tanpa pamrih demi membela tim kebanggaan di media sosial.

Sadarkah, bahwa kalian sudah sejauh itu mencintai sepak bola. Sebuah perjalanan yang tanpa kita semua sadari, telah menyita waktu, tenaga dan biaya kita. Dan benar, sepak bola sebagaimana cinta, kadang-kadang tak pakai logika.

Tapi, sebelum jauh di titik ini, pernahkah kalian mengingat kembali dari mana benih cinta itu tumbuh. Mari, saya akan membantu menggali jejak itu, dan menelusuri dari mana cinta sepak bola berasal.

#1 Ayah

Ada ungkapan, “Like father like son”.  Ungkapan yang umum kita jumpai di setiap unggahan di mana seorang ayah mengajak anaknya untuk menyaksikan sepak bola. Setali tiga uang, perkenalan saya dengan sepak bola pun tak terlepas dari sosok ayah saya. Saya jadi terbawa ke memori final Liga Djarum 2006 silam antara Persik Kediri melawan PSIS Semarang.

Di suatu sore, saya tiba-tiba ditawari pergi ke Solo untuk menyaksikan sepak bola. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan ajakan tersebut, dan di sepanjang perjalanan di dalam mobil carteran bersama serombongan tetangga, saya kala itu bertanya-tanya; sepak bola seperti apa yang bakal saya tonton. Setau saya, sepak bola itu permainan yang dimainkan para remaja di lapangan tidak rata, sedikit kerikil, serta tempatnya terbuka.

Tanpa disangka, saya diajak ke sebuah tempat, namanya Stadion Manahan. Tempat yang tak pernah saya duga sebelumnya. Di mana beton melingkar di empat sisi lapangan, serta sesak penonton yang seolah saling berebut nafas. Di situ, di tribun timur, yang saya rasakan hanya bahu ayah saya yang kuat menyunggi saya sepanjang 90 menit, serta sorakan euforia dan kecewa yang dulunya tak saya pahami.

Sepulangnya, saya menceritakan dengan bangga pengalaman tersebut kepada teman-teman saya. Sebuah pengalaman yang kemudian hari menawarkan candu. Dan di masa pandemi ini, candu tersebut perlahan menjadi rasa sakaw. Penggemar sepak bola mana yang tak merindukan sesak penonton di stadion?

#2 Poster dan jersey

Dulunya saya mengenal pemain bernama Henry, Totti, hingga Del Piero, semua berawal dari nameset di belakang jersey-jersey kw, yang dikenakan teman-teman saya kala bermain di sore hari. Semakin banyak jersey baru, semakin pengetahuan bertambah. Tak jarang, beberapa teman saya malah menjagokan tim-tim dari jersey pemberian orang tua yang mereka kenakan.

Item lain, poster juga tak kalah signifikan mengenalkan sepak bola. Dulu, Juventus, dan AC Milan adalah tim Eropa yang pertama dan kedua saya kenal. Semua itu berkat poster-poster di kamar om saya, yang kebetulan beliau besar di era kejayaan Serie-A.

Jika ayah saya mengenalkan rumah sepak bola; stadion, maka melalui poster dan jersey, saya diajarkan untuk memilih tim mana yang bakal saya dukung. Karena kebetulan saya hanya melihat poster-poster Serie-A, dulunya saya mendukung Juventus, atau kadang AC Milan. Walau perlahan, saya memilih Manchester United dengan sendirinya di kemudian hari. Pilihan yang sebenarnya  nggak tepat-tepat amat. Haha.

#3 Serial televisi bertema sepak bola

Kendati beberapa sudah mengenal sepak bola lebih dini lewat dua poin di atas tadi. Namun, tak jarang mereka belum sepenuhnya mengerti aturan main sepak bola. Maka, tontonan televisi ramah anak seperti Captain Tsubasa, atau Ronaldowati yang mengambil peran.

Dari serial-serial tersebut, anak-anak diajarkan tentang menyerang, bertahan, mencetak gol, dan menang. Hanya saja, kadang kala, para bocah telat menyadari, bahwa di sepak bola betulan, seorang Cristiano Ronaldo tak perlu menendang bola dengan berbagai nama jurus, serta tendangannya tak perlu ditunggui lebih dari satu episode.

Namun, sebagai pengenalan awal, serial-serial anak bertema sepak bola nyaris jarang gagal menanamkan benih cinta sepak bola di benak anak-anak. Terlebih, dari serial tersebut, anak-anak diberi ruang untuk berimajinasi. “Tendangan macan. Arghhhh!”

#4 Play Station

Hampir mirip dengan serial televisi anak bertema sepak bola, gim Play Station semacam PES pun nyaris tak pernah gagal mengajarkan anak-anak tentang aturan sepak bola. Malah, dari sini aturan sepak bola “sebenarnya” itu bisa dipahami. Dari offside, free kick, nama-nama pemain, tim-tim yang dipakai, formasi, hingga istilah posisi seperti CF, CB, RWF, GK dll. pengetahuan itu kebanyakan berasal dari gim ini.

Tak jarang, beberapa teman saya memilih jagoan tim sepak bola dari sini. Seperti cerita teman saya, yang kini menjadi pendukung Chelsea. Dulunya ia mendukung Chelsea hanya karena selama pakai Chelsea di PES, ia tak pernah kalah. Wah, andai saja, dulunya ia saya kalahkan, mungkin kini ia tak mendukung Chelsea. Heuheu.

Ya, itu tadi jejak-jejak awal mula cinta terhadap sepak bola berasal yang berhasil saya telusuri ulang. Barangkali, cerita tersebut juga relevan dengan cerita kalian. Atau kalian punya kisah yang berbeda? Jika iya, saya berharap bisa menyimak cerita kalian juga. Emotikon tos.

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels