Romawi banyak sekali menyimpan sejarah yang begitu berharga dalam peradaban dunia. Banyak tokoh-tokoh terkemuka berhasil dilahirkannya. Sebut saja salah satunya adalah Marcus Aurelius.

Marcus Aurelius yang kerap juga saya sapa dengan pak Marcus adalah seorang Caesar terkenal, pun juga seorang filsuf yang berhasil mengubah pandangan banyak orang dalam menghargai hidup, termasuk saya. Pak Marcus lahir di kota Roma pada tanggal 26 April 121 M dengan nama lengkap Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus. Ia terlahir di keluarga terkemuka, kakek pihak ayahnya pernah menjabat sebagai konsul negara sebanyak tiga kali, dan nenek dari pihak ibunya adalah seorang pewaris salah satu kekayaan Romawi paling besar. 

Kehidupan pak Marcus sangat terjamin, ia juga menjadi anak yang mempunyai segalanya. Tetapi, yang membuat saya kagum dari pak Marcus adalah kerendahan budinya. Pak Marcus tidak sombong, melainkan sangat bijaksana. Oleh sebab itu, saya sangat setuju jika beliau disebut seorang filsuf stoa.

Pandangannya tentang menghargai hidup, saya dapatkan dari buku karya Eric Weiner yang berjudul The Socrates Express. Halaman buku tersebut diawali dengan segala pertanyaan pak Marcus mengenai bangun dari rebahan, diantaranya “haruskah aku bangun dari rebahan?” “bisakah aku bangun dari rebahan?” dan “mengapa aku bangun dari rebahan?”. Pertanyaan yang mungkin sangat menggelikan di benak kita, sangat unfaedah, tapi tidak untuk filsuf stoa yang satu ini. Bagi pak Marcus hal semacam ini perlu kita tanyakan, perlu kita renungkan agar hidup ini tidak sia-sia. 

Bangun tidur kita tidak hanya sekedar bangun, namun bisa bermakna dan berkesan. Gambaran semacam ini juga pernah disampaikan oleh seorang penganut absurdiah, bernama Albert Camus. Ia mengatakan “apakah hidup ini layak dijalani atau tidak?”. Tentu pertanyaan-pertanyaan semacam ini jarang muncul di benak kita, inilah yang membuat mengapa kita tidak bisa menghargai hidup, karena dari hal sesederhana ini saja jarang kita pertanyakan dan renungkan.

Seorang filsuf asal Skotlandia bernama David Hume mencoba menjawab pertanyaan pak Marcus ini. Ia mengatakan bahwa dalam hidup ini ada dua yang harus kita ketahui, yakni “yang ada” dan “yang seharusnya”. “Yang ada” adalah kenyataannya kita hidup, kita bangun, kita jalan, dan lainnya. “Yang ada” adalah realitas kehidupan kita selama ini. Namun berbeda dengan “yang seharusnya”, yakni makna dari hidup kita selama ini apa, bangun tidur kita itu untuk apa, dan mengapa kita harus berjalan. “Yang seharusnya” menjadi konstruksi makna dari sebuah realitas kita, bahwa kita hidup tidak hanya sekedar hidup, tetapi harus bermakna dan berkisah.

Perjalanan pertanyaan pak Marcus mulai terpecahkan ketika Sonya, sang putri Caesar Marcus yang berumur 13 tahun menjawab dengan gaya filosofisnya “yang membuat kita sanggup bangun dari rebahan, yaitu kegiatan, bukan dering alarm”. Pak Marcus kemudian membenarkan jawaban sang putri. Baginya, saat ia susah bangun dari rebahan, sebenarnya musuhnya bukanlah rebahan itu, bukanlah dunia diluar sana, melainkan proyeksi-proyeksi yang ada di dalam dirinya. 

Ada hal menarik yang pak Marcus munculkan setelah berhasil mengasihi dirinya untuk tidak rebahan kembali “hentikan kehidupan konyol yang cengeng ini…kau bisa menjadi baik hari ini, tapi kau malah memilih besok”. Dari sini si filsuf stoa itu ingin menyampaikan bahwa kita mampu untuk jadi lebih baik detik ini, hari ini juga. Tetapi, kebanyakan kita selalu menunda kesempatan untuk menjadi baik itu, kita selalu memilihnya nanti, bukan sekarang. Merasa atau tidak, namun itulah faktanya yang ada di kehidupan ini.

Di saat-saat kesadaran sang Caesar, ia menyadari ia harus bangun dari rebahan untuk melakukan tugas sebagaimana manusia. “Tugas” bukanlah keharusan. Tugas berasal dari impuls dirinya, bukan dari luar seperti keharusan. Saat bertindak berdasarkan tugas, kita dapat melakukannya secara sukarela untuk mengangkat diri kita, dan orang lain, lebih tinggi. Tetapi berbeda dengan tindakan yang didasari oleh keharusan, maka kita melakukannya hanya untuk membentengi diri dari akibat yang tidak diinginkan.

Intinya, bahwa hidup ini haruslah berarti, hidup ini haruslah berharga. Oleh karena itu, kita perlu menghargai kehidupan kita, semua hal baik yang kita lakukan di hidup ini, mulai dari tindakan sederhana sampai tindakan luar biasa. Hal ini tidak saja berlaku untuk kaum masa kini, tetapi juga kaum masa depan. Begitu pula ini tidak hanya berlaku untuk kamu, tetapi untuk saya juga. Mari kita belajar untuk menghargai hidup ini, sehingga kita dapat memaknai hidup ini dengan penuh keberartian, seperti apa yang disampaikan pak Marcus Aurelius.

Foto: Rawanda.blog

Editor: Saa