Demi mengusir bosan yang ditengarai oleh wabah pandemi COVID-19, manusia menjalani aneka macam usaha. Tiap-tiap orang punya cara sendiri, tapi untuk mereka yang kemampuan ekonominya berada di kelas menengah atas, jelas perasaan bosan atau jengah di kala pandemi, bukanlah persoalan serius. Begitulah, bosan dapat diusir dan uanglah yang kerap menjadi alat tukarnya.

Ciri kelompok di atas yang paling jelas bisa ditandai adalah senang mengikuti tren zaman. Apa saja. Dalam beberapa bulan belakangan kelas menengah kota mengalami lonjakan antusiasme terhadap sepeda. Ya, bersepeda tengah jadi tren sepanjang bulan-bulan pandemi ini.

Sepeda Habis Diborong

Sejumlah kota besar di Indonesia merasakan hal tersebut. Di Jogja misalnya, pada awal Juni yang lewat, toko-toko sepeda di daerah Gondomanan dibanjiri pembeli. Saya melihat fenomena ini sebagai satu hal yang logis. Ketika ruas jalan tak lagi disesaki oleh lalu lalang kendaraan berasap. Bersepeda adalah pilihan yang paling mungkin bisa dilakukan, dan dengan segera para pesepeda, baik yang baru atau yang lama, hadir mengisi kekosongan dan lengang jalan.

Nah, berkenaan dengan hal tersebut, saya mulai mengamati dan setelahnya bisa memetakan jenis dan tipe pesepeda berdasarkan gaya dan atribut yang mereka pakai saat memacu kendaraan roda dua itu. Tapi tentu ini amatan ala-ala.

Ada banyak kelompok atau perseorangan, agar gampang untuk mengklasifikasikan, saya sebut saja “pelaku pesepeda” alias mereka yang menjalani ritus mengayuh pedal. Langsung saja, inilah tipe-tipe pesepeda di kala pandemi:

Tipe-tipe Pesepeda di Kala Pandemi

Pertama, mereka yang disebut sebagai “Pesepeda Semi-Profesional”. Kelompok ini biasanya mudah ditandai dari sepeda, busana, dan cara mereka mengayuh. Disebut semi profesional sebab mereka adalah tipe penggemar sepeda yang memang sudah rutin dan berkomunitas. Dilihat dari peralatan penunjang dan tampilan mereka sedikit mirip dengan para altet sepeda profesional. Tetapi mereka menjalani ini karena hobi bukan mata pencarian selayaknya atlet sungguhan.

Selain karena hobi, bersepeda bagi kelompok ini  adalah satu cara untuk mengekspresikan kelas. Umumnya sepeda-sepeda mereka adalah sepeda artistic dengan harga bukan main. Sebagai contoh, yang biasa mereka gowes yakni jenis sepeda lipat atau sepeda hibrid,  lengkap dengan fitur-fitur canggih yang menunjang keasyikan bersepeda.

Kedua, kelompok atau perorangan ini saya sebut sebagai “Mantan Pesepeda”. Mereka mengalami situasi semacam “Cinta Lama Bersemi Kembali”. Mereka dulunya adalah pesepeda, biasanya berada pada rentang usia 35-50. Mereka adalah penggemar sepeda di masa silam, entah bersepeda untuk sekolah, bekerja atau hobi sekaligus olahraga. Tapi karena zaman berubah, ekonomi membaik dan lain seterusnya, kehidupan membawa mereka menjauh dari sepeda.

Dan saat-saat pandemi COVID-19 inilah mereka dibawa kembali pada kenangan bersepeda, dengan kata lain pandemi memberi waktu pada mereka untuk melirik cinta lama itu.

Berbeda dengan kelompok pertama, pesepeda ini cenderung tidak memedulikan “nilai seni” dalam tampilan sepeda. Bayangan mereka terhadap sepeda adalah potret masa lampau, seperti halnya sepeda pada zaman dimana mereka pertama kali bisa menaiki sepeda keranjang dan jengki atau ontel.

Bersepeda di Kala Pandemi

Apapun tipe dan jenis pesepeda yang penulis singgung di atas, mereka merasakan dan terpaut pada hal yang sama: menemukan manfaat dan kesenangan dari bersepeda. Mereka meramaikan tren ini didasari rasa jenuh ketika sekian lama swakarantina.

Saya rasa di kala pandemi yang belum juga selesai, bersepeda memang jalan pintas untuk proses rekreasional.

Itu baru sebagian kecil pesepeda yang saya amati. Tentu saja masih banyak ragam kelompok dan atau perseorangan lain. Terlepas dari soal tren, tetap saja bersepeda merupakan langkah yang bagus untuk hidup yang jauh lebih sehat. Bukan cuma untuk diri sendiri tapi juga untuk alam. Polusi berkurang, udara jadi lebih segar dan langit akan tampak makin cerah.

***

Lebih jauh, dengan banyaknya pengendara sepeda, boleh dong saya berkhayal kelak kota-kota di Indonesia bisa jadi seperti halnya Amsterdam dan Utrech di Belanda atau Copenhagen di Denmark. Ya, namanya juga mengkhayal.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad