Pada suatu malam, saya yang sedang dalam perjalanan pulang, melihat seorang ibu menjadi tukang parkir yang memberi aba-aba kepada mobil pengunjung RS PKU Muhamadiyah Bantul. Bagi saya melihat tukang parkir yang memberi aba-aba itu biasa, tetapi menjadi tidak biasa ketika si pemberi aba-aba adalah perempuan, dengan latar waktu malam hari. Padahal perempuan selalu diikuti stigma tidak boleh keluar malam, atau perempuan itu bisanya mengurus rumah, ya sekitar pekerjaan dapur-sumur-kasur. Perempuan tidak selemah itu ferguso.

Saya adalah kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Pada suatu rapat, saya pernah meminta lampu sekretariat diganti karena sudah redup. Tetapi dalam jangka waktu yang lama, penerangan sekretariat masih saja temaram. Ya, mungkin karena saya memintanya tidak spesifik ke siapa, jadi tidak ada yang merasa bertanggungjawab untuk mengabulkan permintaan saya.

Daripada lampunya tidak ganti, saya berinisiatif meminta tolong ke bendahara untuk membeli lampu, dan nekat mau memasangnya sendiri, dengan bantuan tongkat dan beberapa teman perempuan yang lain tentunya. Hari dimana saya dan teman-teman memasang lampu, datanglah bantuan tidak terduga dari teman laki-laki. Alhamdulillah. Akhirnya yang memasang lampu si laki-laki. Karena tinggi kami yang perempuan tidak sampai ke lampu walaupun memakai tongkat dan naik ke kursi.

Dari dua kejadian yang saya alami, saya tambah sadar bahwa perempuan bisa menjadi apa saja. Tukang parkir, petugas kamtib di pasar, bahkan anggota KOKAM Pemuda Muhammadiyah saja ada yang perempuan.

Perempuan Menjadi Imam

Suatu ketika, ada teman yang membagikan alamat pranala menuju artikel yang dimuat di ibtimes.id berjudul Bolehkah Perempuan Menjadi Imam Shalat Tarawih di Rumah? yang ditulis oleh Ibu Alimatul Qibtiyah di sebuah grup whatsapp. Selaku penulis, beliau telah menerangkan dalil apa saja yang mendasari artikel beliau. Bahkan dilengkapi dengan infografis yang rapi agar lebih mudah dipahami. Tetapi ada salah satu teman yang tidak setuju dengan artikel tersebut. Dan terjadilah diskusi yang cukup panas di dalam grup.

Begini penjelasan tim pro:

Karena masa pandemi yang mengharuskan umat muslim melaksanakan ibadah di rumah, maka salat tarawih dapat dilakukan berjamaah satu keluarga. Kemudian ada suatu keadaan di mana laki-laki di satu rumah itu bacaan Alqurannya tidak lebih lancar dari perempuan. Karena salat tarawih itu rakaatnya berjumlah banyak, maka perempuan yang bacaannya lebih lancar bisa menjadi imam salat.

Sedangkan berikut penjelasan tim kontra:

Imam wanita ini tidak pernah ini tidak pernah ada di zaman Nabi hidup, tidak pernah dicontohkan. Sepeninggal Nabi, bisa dibilang bahwa bacaan dan hafalan Aisyah r.a paling bagus, tetapi beliau tidak mejadi imam. Perempuan boleh menjadi progresif, menjadi pemimpin, dalam ranah muamalah, sedangkan salat termasuk dalam ranah ibadah. Jadi kalau bertemu keadaan yang seperti disebutkan tim pro, lebih baik salat sendiri-sendiri saja.

**

Karena saya tidak punya ilmu yang cukup untuk berpendapat, maka saya hanya bertanya di sela diskusi ini. Bagaimana jika keadaan yang disebutkan tim pro memang terjadi?

Begini ceritanya. Ada sebuah keluarga yang hidup bahagia, tetapi semua berubah sejak pandemi menyerang di bulan Ramadan. Keluarga ini biasanya mengikuti salat tarawih berjamaah di masjid kampung. Tetapi sekarang, keluarga ini bingung. Si Bapak yang seharusnya menjadi imam, tidak memiliki hafalan dan bacaan Alquran yang baik. Si Ibu karena sering mengikuti kegiatan TPA yang diselenggarakan ibu-ibu, bacaannya cukup baik dan hafal beberapa surat pendek. Lalu siapa yang menjadi imam salat tarawih?

Kurang tepat jika kisah sebuah keluarga di atas dibandingkan dengan kisah Aisyah r.a yang tidak menjadi imam walaupun hafalan dan bacaannya bagus. Dalam kisah Aisyah r.a sepeninggal Nabi, banyak sahabat Nabi yang hafalannya tidak kalah bagus dari Aisyah. Semua bagus. Tetapi dalam kisah sebuah keluarga tadi, jarak antara bacaan si Bapak dan si Ibu tidak sebanding dengan bacaan Aisyah dan sahabat Nabi. Ibu yang bacaannya jelas jauh lebih bagus.

Yah, tapi kembali ke pernyataan awal. Perempuan bisa menjadi apa saja, menjadi tukang parkir, petugas kamtib di pasar, anggota KOKAM, satpam. Mengapa tidak bisa jadi imam?