Beberapa waktu lalu publik pernah diramaikan oleh isu pemaksaan jilbab kepada siswi non muslim. Ada yang bersikap kontra karena merupakan bentuk intoleransi. Ada pula yang pro dengan alasan laki-laki muslim tidak diperbolehkan melihat bagian tubuh perempuan, baik muslim maupun non muslim. Lalu, bagaimana hukumnya secara fikih? Bolehkah seorang laki-laki melihat bagian tubuh perempuan non muslim yang biasa terlihat, seperti rambut, leher, dan lengan?
Pada umumnya, para ulama fikih tidak membedakan antara aurat muslimah dan aurat non muslimah. Mayoritas ulama tidak memperbolehkan laki-laki memandang bagian tubuh perempuan non muslim. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
الذمية الحرة عورتها كعورة المسلمة الحرة ، حيث لم يفرق الفقهاء في إطلاقهم للحرة بين المسلمة وغيرها ، كما أنهم لم يفرقوا بين عورة الرجل المسلم والكافر ، وهذا يقتضي تحريم النظر إلى عورة الذمي رجلا كان أو أنثى
“Perempuan non muslim zimi yang merdeka auratnya sama dengan perempuan muslim yang merdeka. Para ahli fikih tidak berbeda dalam memutlakkan ‘perempuan merdeka’ antara muslimah dan bukan muslimah, sebagaimana mereka tidak membedakan antara aurat laki-laki muslim dan laki-laki non muslim. Hal ini berkonsekuensi pada pengharaman memandang aurat non muslim zimi, baik laki-laki maupun perempuan.”
Hukum Melihat Wanita Non Muslim Tak Berhijab Menurut Syekh Syarif Hatim al-‘Auni
Namun, Syekh Syarif Hatim al-‘Auni, ulama Arab Saudi, mengatakan bahwa tidak ada nas yang sharih dan qati‘ yang menyebutkan bahwa aurat perempuan non muslim sama dengan perempuan muslimah.
Dalam situs web pribadinya, beliau menyebutkan adanya khilafiah mengenai bolehnya laki-laki melihat bagian tubuh perempuan non muslim. Para ulama tersebut berdalil bahwa ayat-ayat yang memerintahkan menutup aurat dan mengenakan jilbab dikhususkan untuk perempuan-perempuan yang beriman.
Di antara pendapat ulama yang dinukil oleh Syekh Syarif Hatim al-‘Auni adalah pendapat Hasan al-Basri yang diriwayatkan oleh Ad-Daulabi dalam Al-Kuna wa al-Asma’,
ثبت أن الحسن البصري سُئل : إنا نبيع القطن ، فيأتينا نساء أهل الذمة ، فنرى شعورهن ؟ فقال الحسن : ليس به بأس .
Al-Hasan al-Basri ditanya, “Kami menjual katun, lalu para wanita ahli zimah mendatangi kami dan kami melihat rambut mereka?” Hasan berkata, “Tidak mengapa.”
Riwayat ini menunjukkan bahwa perempuan-perempuan ahli zimah menampakkan rambut mereka di pasar. Dalam riwayat tersebut, Hasan Al-Basri, seorang ulama fikih yang alim dan zuhud dari kalangan tabiin, membolehkan memandang mereka jika tanpa syahwat.
Pembatasan tanpa syahwat ini diketahui dari konteks pertaanyannya, yakni pandangan seorang penjual kepada pembeli. Selain Hasan al-Basri, Ibrahim an-Nakha‘i juga membolehkan memandang bagian tubuh perempuan non muslim tanpa disertai syahwat. Adapun memandang dengan syahwat hukumnya haram berdasarkan ijmak para ulama.
Syekh Syarif Hatim juga menukil perkataan Imam Ahmad,
وقال الإمام أحمد : (( الزينة الظاهرة الثياب ، وكل شيء منه عورة ( يعني : المرأة)، حتى الظفر ، ولا نقول في نساء أهل الذمة شيئا))
Imam Ahmad berkata, “Perhiasan yang tampak yaitu pakaian. Seluruh tubuh wanita adalah aurat hingga kukunya. Kami tidak mengatakan apa-apa perihal wanita ahli zimah.”
Di sini Imam Ahmad ber-tawaqquf (tidak berpendapat apa-apa) mengenai batasan aurat perempuan non muslim. Hal ini karena tidak ada ayat dan nas yang menerangkannya.
Selain itu, Syekh Muhammad Didu asy-Syinqiti dalam sebuah acara televisi di saluran 4shbab menjelaskan bahwa hukum melihat bagian tubuh perempuan non muslim bergantung pada kondisi wilayah.
Apabila di suatu wilayah perempuan non muslim memiliki kebiasaan berhijab sebagaimana muslimah, hukum memandang tersebut menjadi haram.
Namun, apabila di suatu wilayah kebiasaan perempuan non muslim adalah tidak berhijab, hukum memandang tersebut dikiaskan dengan hukum memandang budak, yakni tidak haram jika tidak khawatir akan fitnah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memandang perempuan non muslim yang tidak berhijab hukumnya haram jika menimbulkan syahwat atau fitnah. Adapun jika tidak menimbulkan fitnah, para ulama berselisih pendapat.
Ada ulama tetap mengharamkannya, namun ada pula ulama yang membolehkan dan mengiaskannya dengan hukum melihat budak apabila berhijab tidak menjadi kebiasaan perempuan non muslim di suatu daerah.
Namun demikian, penulis menganjurkan kepada pembaca agar memilih pendapat yang lebih hati-hati, yakni tetap menundukkan pandangan meski tanpa syahwat, tanpa perlu memaksa perempuan non muslim untuk berhijab. Tetap menjaga syariat dengan merawat toleransi dan keberagaman!
Artikel ini pernah tayang di IBTimes dengan judul : Melihat Perempuan Non Muslim Tidak Berhijab, Haram?
Comments