Prosesi penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu rangkaian Iduladha yang ditunggu-tunggu. Semua orang yang hadir pasti merasakan kegembiraan, yang menunaikan kurban bahagia karena sumbangan kurbannya tersalurkan, yang belum berkesempatan juga senang karena ada momen kebersamaan. Selian spiritual, momen ini juga menghasilkan nilai gotong royong dan saling empati.
Sebagai orang yang bertahun-tahun menjadi relawan hingga panitia kurban, saya ingin mengemukakan unek-unek. Hal-hal yang perlu diperhatikan, dijadikan batasan, dipatuhi, atau lain semacamnya saat di lokasi pemotongan hewan kurban. Namun, sebelum itu, saya ingin terlebih dahulu beberkan klasifikasi siapa saja pihak-pihak yang pasti hadir di lokasi penyembelihan.
Pertama yang jelas adalah panitia. Mereka yang bertanggungjawab dan punya wewenang, dari persiapan hingga evaluasi, dari funding donatur hingga pelaporan, dan umumnya nama-nama panitia sudah disepakati dan tertulis sejak jauh-jauh hari. Kedua adalah relawan, mereka yang tidak diberikan wewenang khusus, tetapi punya semangat untuk berkontribusi. Ketiga ada profesional, biasanya terdiri dari satu grup, mereka tukang jagal bersertifikasi. Ciri-ciri umumnya membawa alat sendiri, mengatur skenario penyembelihan, terutama sapi, dan meninggalkan lokasi lebih awal atau tidak sampai selesai pembagian.
Aturan tidak tertulis ini saya tujukan untuk semua pihak tanpa terkecuali. Demi menyadarkan dan mengedukasi oknum-oknum yang berpotensi mengurangi kesakralan ibadah kurban. Termasuk di dalamnya oknum yang mengganggu dan merugikan orang lain.
Menjaga Kebersihan Lokasi
Tahun lalu saya diamanahi sebagai ketua panitia Iduladha. Saat hari menjelang sore dan daging siap didistribusikan, saya berinisiatif mencicil membereskan perlengkapan agar nanti tidak banyak yang perlu dibereskan. Sayangnya, tanah wakaf yang dijadikan lokasi pemotongan itu banyak sekali sampah, paling banyak gelas plastik. Sehingga, fokus saya lebih tertuju untuk sapu “ranjau” terlebih dahulu.
Bagaimana mungkin di saat bersamaan kita melakukan ibadah kurban, sekaligus dosa lingkungan. Kebersihan adalah tugas bersama, mau kita panitia, relawan, bahkan profesional. Beberapa tahun terakhir kita diajak untuk green qurban, program kurban yang tidak hanya mengambil kebaikan syariat, namun juga prinsip ramah lingkungan.
Tidak Merokok Sembarangan
Saya rasa hal ini juga menjadi kesepakatan bersama di banyak tempat. Namun, hal ini sama sekali berbeda dengan aturan merokok di coffee shop, tempat wisata, atau toilet umum. Lokasi pemotongan hewan kurban dipenuhi banyak orang, dengan masing-masing persepsi yang beragam terhadap rokok.
Baiklah, saya paham sebagian “ahli hisap” mendapatkan energi optimal ketika bekerja sembari merokok. Tapi perlu diingat lagi, lokasi pemotongan hewan kurban berada di tempat terbuka. Tempat seperti itu sudah memberikan toleransi yang sangat besar kepada para perokok. Anda bisa bergeser sejenak supaya orang sekitar tidak terganggu asap rokok saat sama-sama bekerja. Come on!
Sungai Bukan Tempat Wisata
Terdapat satu divisi tidak tertulis, selalu ada secara turun temurun. Kebanyakan divisi ini diisi relawan dan panitia pemula. Mereka yang kurang paham anatomi hewan kurban, sehingga skill memotongnya biasa-biasa saja, apalagi mengoperasikan mesin pemecah tulang. Juga mereka yang kurang teliti dalam menimbang dan mengemasi daging, apalagi melakukan aktivitas manajerial di kepanitiaan.
Divisi ini tetap diberdayakan dan selamanya akan dibutuhkan. Mereka ditempatkan di aliran sungai untuk membersihkan jeroan, bagian usus dan lambung. Akan tetapi, sering saya jumpai mereka malah bermain-main di sungai. Misalnya berenang, nongkrong, bahkan memancing. Maklum saja karena divisi ini kebanyakan juga berisi anak-anak yang belum dewasa.
Tapi tetap saja, hal-hal itu berdampak tidak efisiennya waktu yang digunakan. Terlebih lagi jika masjid/lembaga penyelenggara mendapat amanah hewan kurban yang banyak, belasan hingga puluhan. Jeroan pertama tidak kunjung dibersihkan, sudah dapat kiriman jeroan yang baru, kan repot.
Kerja Tidak Seberapa, Tapi Kulineran Terus
Divisi yang tak kalah penting dan harus ada di lokasi pemotongan hewan kurban adalah divisi konsumsi. Kebanyakan divisi ini beranggotakan ibu-ibu yang terampil memasak. Mereka pahlawan tanpa tanda jasa, penyedia amunisi logistik sebagai sumber energi seluruh hadirin. Menu yang disajikan pun biasanya sangat lengkap. Mulai dari makan berat khas Iduladha, kopi dan teh, jajanan pasar, gorengan, hingga buah-buahan.
Menu-menu tadi dijajar dengan rapi di atas meja khusus. Siapa saja boleh mengambil, memilih mana yang dirasa enak dan cocok untuk dinikmati. Namun yang saya soroti, ada entitas yang mondar mandir ke meja konsumsi secara intens. Saya tidak tahu persis apakah tenaga mereka cepat habis sehingga perlu sesering mungkin diisi ulang?
Parahnya lagi peran entitas tersebut tidak lebih dari seorang turis asing yang mencicipi lezatnya kuliner Nusantara. Berbagai menu mereka coba bahkan sampai porsi yang tidak wajar. Sebenarnya saya tidak masalah dengan itu, justru divisi konsumsi akan sangat senang apabila makanan habis, alias tidak disisakan begitu saja. Akan tetapi, kebanyakan oknum kulineran di hari raya kurban tidak menunjukkan kinerja sepadan dengan apa-apa yang dikonsumsi.
Biasanya oknum ini adalah anak-anak kos perantauan yang mengambil kesempatan perbaikan gizi, atau sekadar bernostalgia dengan masakan ibu di kampung halaman. Sekali lagi bagi saya tidak masalah. Rasanya kurang tepat saja bila beraktifitas di tempat pemotongan hewan kurban, namun salah niat. Bergabungnya mereka ke lokasi juga disambut hangat, mereka semestinya memaksimalkan momentum itu untuk gotong royong, membangun chemistry dengan warga setempat.
Editor: Yud
Gambar: Unsplash
Comments