Tahun ini, kakak saya akan menikah. Pasti setelah itu, akan banyak pertanyaan “kapan nikah?” yang dilontarkan kepada saya. Tentu bukan lain memang karena sudah giliran saya.

Meski demikian, membayangkannya saja sudah membuat saya kesusahan. Bukan karena nggak ada calon, tapi karena memang masih di fase takut untuk menikah. Itu saja.

Jujur, di fase ini, di usia 26 tahun ini, saya masih ada ketakutan untuk menikah. Saya nggak paham apakah cuma saya yang merasakannya. Tapi, saya memang punya bayangan yang menakutkan terhadap satu tahapan dalam kehidupan umat manusia satu ini.

Cowok gak peka dan cewek menyusahkan

Dalam beberapa hubungan yang saya amati. Cowok selalu saja menjadi pihak yang dianggap tidak peka. Apapun itu. Dan cewek selalu saja menyusahkan. Baca maps saja selalu salah, y g y. 

Beberapa buku dan artikel yang saya baca bahkan mengungkapkan bahwa masalah dalam pernikahan akan semakin kompleks. Mulai dari finansial, kebiasaan harian yang berbeda, sampai visi misi dalam hidup.

Perbedaan sebelum dan sesudah menikah

Guru saya juga pernah mengatakan kalau orang yang kita nikahi nanti akan berbeda jauh ketika sudah satu rumah. Sebab, kita tahu semua aktivitasnya mulai dari bangun tidur yang kusut, sampai ketika ia tidur sambil mendengkur. Belum lagi masalah kebiasaan harian. Apakah ia rapi, bersih, dan sebagainya. Hal-hal kayak gitu baru bisa kita tahu ketika sudah menikah.

Saya pun agaknya setuju. Kalau direnungkan, ketika masih pacaran, untuk mau ketemu dengan pasangan, atau sebuah ajakan kencan, kita sudah memoles wajah dengan sebaik-baiknya. Memakai baju sebagus-bagusnya. Semprot minyak wangi sebanyak-banyaknya. Atau minimal sudah cuci muka. Tapi ketika menikah, tentu tidak demikian bukan? Kita akan bertemu versi “lain” dari pasangan kita.

Diskusi dengan teman

Kekhawatiran ini, saya pun bertanya dengan beberapa teman yang sudah menikah. Diskusi panjang pun terjadi. Pembahasan dimulai ketika saya membincang masalah fisik. Teman saya bilang, kalau mencari yang cantik, nggak akan ada habisnya. Wanita yang lebih cantik dari pasangan kita akan selalu ada.

Saya senang mendengar kalimat itu. Dan tentu saja saya sepakat. Oh, iya, untuk urusan fisik, saya akhirnya sampai pada pemahaman, bukan dia cantik kemudian saya suka. Tapi saya suka, kemudian dia terlihat cantik. Oke fix.

“Kalau mencari kekurangan, pasti tak ada habisnya. Namanya menikah itu, ya, menerima.” Teman saya satunya lagi memberi jawaban seputar kekurangan pada pasangan.

Ia menambahi, “Kalau sudah menikah, kita nggak mikir romantis-romantisan lagi. Yang penting bisa saling bicara, masak bareng, tidur bareng, mikir masa depan bareng. Sudah. Rasanya nggak ada waktu untuk mikir tentang masalah nggak peka. Karena bisa selalu ada saja itu sudah seneng.”

Saya terkagum-kagum dengan jawabannya. Ternyata sesuatu yang belum terjadi memang selalu nampak menakutkan.

Oh, iya, ada satu teman lagi yang saya tanya. Dari berbagai jawaban panjangnya, ada satu bagian yang saya suka. Ia mengatakan, “fase takut menikah itu wajar. Dan manusia tidak akan pernah merasa siap.”

Merasa beruntung

Duh, saya merasa beruntung dikelilingi lingkar pertemanan yang isinya Mario Teguh. Weheheh.

Dari berbagai perbincangan tersebut, saya paham bahwa apapun teorinya, menikah akan selalu saja nampak berbeda. Ini bukan berarti boleh menikah secara ugal-ugalan. Tentu tidak. Kita tetap harus memilih pasangan dengan sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya. Masalah nanti pada pernikahan ada problem, ya dihadapi saja. Namanya juga hidup.

Terakhir, saya ingin mengutip nasihat dari Socrates. Ia mengatakan, “Dengan segala cara, menikahlah! Jika mendapatkan istri yang baik, maka kamu akan bahagia, jika mendapatkan istri yang buruk, maka kamu akan menjadi seorang filsuf”. 

Dan kita pun sama-sama tahu kalau akhirnya Socrates menjadi seorang filsuf terkemuka. Wheheh, remook.

Gambar : Google

Editor : Assalimi