Cerita bucin memang selalu menarik perhatian. Ada berbagai cerita romantis dengan beragam alur dan latar yang diangkat sebagai karya novel, drama, atau film. Seru sekali menyimak uniknya bagaimana dua insan bertemu dan kemudian dipersatukan. Ada cerita yang meluluhkan hati, mengesankan, membuat iri, pun juga membuat ngakak kalau ada yang lugu dan lucu—cara tersopan untuk mengatakan itu konyol dan tolol.

Sudah barang tentu, cerita-cerita romantis menjadi salah satu pilihan hiburan yang uwu untuk menemani keseharian. Di samping sinetron FTV dan drama Korea, sebagian kita mungkin juga akrab dengan kisah-kisah dongeng princess dalam seri Disney. Tidak hanya isi ceritanya, cara membawakannya pun mengesankan. Aku karena saking sukanya dengan dongeng princess itu, sampai pernah membayangkan jadi salah satu dari mereka. Jujur saja, pasti di antara teman-teman juga ada yang begitu?

Tapi, apakah kita memperhatikan bahwa semakin ke sini cerita-cerita romantis tersebut mulai disuguhkan dengan cara yang berbeda?

Disney Mencoba Berbenah

Belakangan seiring berjalannya waktu, sepertinya ada pergeseran pola alur cerita di film maupun novel romantis. Dulu saat kecil, kita sering melihat di film-film ada dua tokoh, laki-laki dan perempuan, yang sekalinya bertemu langsung klepek-klepek jatuh cinta. Baru memandangnya atau baru mendengar suaranya saja, segera memutuskan wah ini dia jodohku dan ingin langsung menikahinya. Snow White, Sleeping Beauty, Ariel The Little Mermaid, dan banyak lagi cerita menjadi beberapa contoh yang lekat di masa kanak-kanak. Ya, tersebut tadi memang judul film produksi Disney yang memang begitu mengesankan.

Sadar atau tidak, beberapa tahun terakhir ini, mereka banyak memodifikasi alur-alur cerita romantis yang ada. Aku betul-betul menangkap sejak nonton film Frozen (2013) yang pertama dimana tokoh Anna yang awalnya seolah-olah sudah click akan berjodoh dengan seorang pangeran ternyata nggak jadi, guys, karena terbukti si pangeran ini rupanya orang jahat. Setelah beberapa saat, barulah diketahui kalau pada akhirnya jodohnya adalah lelaki bernama Kristoff, orang biasa aja, yang baik hatinya dan beneran cinta tulus sama Anna.

Lagi, saat menonton film Maleficent (2014) yang menjadi semacam sekuel dari dongeng Sleeping Beauty, sebuah pesan yang mirip diangkat ke film-nya, bahwa cerita cinta tidak selalu berakhir bahagia. Tepuk salut untuk Disney yang berhasil membangun ulang cara kita melihat dongeng sang putri tidur, Aurora. Maleficent inilah peri yang di cerita Aurora pada umumnya dianggap sebagai tokoh antagonis yakni seorang peri jahat yang mengutuk putri itu. Padahal sebetulnya, ia merupakan peri baik yang ternyata menjadi keras hatinya sebab cinta pertamanya mengkhianatinya. Kasih sayangnya pada Aurora kemudian melembutkan hatinya. Kata siapa Aurora selamat dari kutukan “tidur”-nya karena ciuman seorang pangeran? Itu karena Maleficent, sang ibu angkatnya.

Sudut Pandang yang Berbeda

Dua karya ini, Frozen dan Maleficent, memang cenderung ingin menguatkan pandangan bahwa cinta pertama tidak ada apa-apanya, tidak selalu bahagia sejahtera sentosa, sakinah mawaddah warohmah. Di atas itu semua, hubungan keluarga adalah yang utama. Kira-kira begitulah pesan yang diangkat. Menurut desas-desus, dunia barat memang sempat resah karena beberapa karya film bucin membikin para remaja berandai-andai soal cinta pada pandangan pertama. Kisah cinta dalam cerita-cerita Disney dianggap unhealthy (tidak sehat) dan toxic (beracun), seperti disampaikan oleh Laura dalam loveisrespect.org.

Begitulah kiranya mengapa dimunculkan sosok dua bersaudara, Anna dan Elsa, dalam film Frozen yang awalnya punya hubungan renggang. Seiring berjalannya waktu, Anna menyadari hubungan cintanya dengan pangeran jahat membawa celaka, dan ikatan persaudaraannya dengan Elsa adalah yang terpenting untuk dijaga pada akhirnya. Sebagaimana hubungan Maleficent dan Putri Aurora yang sudah seperti keluarga ternyata mengalahkan kekuatan cinta di balik “ciuman” sang pangeran untuk sang putri.

Lalu belakangan Disney muncul lagi dengan membawa film Aladdin (2019). Meskipun mengisahkan kisah cinta antara Aladdin dan Putri Jasmine, tetapi titik beratnya bukanlah pada hubungan keduanya. Melainkan pada perkembangan diri dan karakter kedua tokoh, khususnya Putri Jasmine. Begitu jelas, Disney ingin mengangkat semangat women empowerment dalam cerita tersebut. Inti ceritanya berpusat pada bagaimana keberaniaan Putri Jasmine untuk bersuara atas ketidakadilan yang dilakukan Ja’far, tokoh antagonis dalam cerita.

Menarik ya mengikuti perkembangan beragam alur cerita-cerita romantis itu. Kira-kira ke depan akan dibawakan seperti apa? Apakah teman-teman sudah ada pandangan? Share your thoughts, please!

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: AllEars.net