Saat menjadi pekerja televisi, mengerjakan program TV tanpa gimik itu serasa gabut. Program yang hanya mengikuti “pola” yang biasa saja, jelas tidak ada tantangannya. Padahal, industri TV adalah industri yang memaksa kita untuk selalu berfikir kreatif.

Apalagi saat ini, persaingan yang dihadapi tidak hanya dengan sesama stasiun televisi, tetapi juga dari konten-konten dunia maya. Oleh karena itu, gimik merupakan salah satu bentuk kreativitas yang bisa dimainkan tanpa batas.

Tentang Gimik

Gimik bisa berupa adegan dari talen pengisi acara, tambahan properti, atau perlakuan lain untuk memperkaya segmen program. Masih inget kan “trend styrofoam” di acara komedi? Saya yakin awalnya gimik itu tercipta tidak sengaja oleh pemain OVJ. Tapi, karena mungkin oleh kru produksi dianggap lucu dan menghidupkan suasana, maka hal tersebut dijadikan ikon tetap yang bahkan ditiru beberapa acara komedi di stasiun televisi lain. Para pemainnya pun tidak keberatan dan malah terlihat enjoy bahkan klop.

Tidak menampik kalau beberapa program ada yang menampilkan gimik yang mungkin dianggap keterlaluan (saya lebih suka menyebutnya “gimmick yang tidak sesuai selera).” Standar setiap orang yang berbeda tentunya membuat gimik tersebut bisa dinilai sukses, atau malah gagal. Saya yakin, kalian juga pernah misuh-misuh karena gimmick di tayangan televisi kan? Hal ini terjadi karena kalian merasa yang ditampilkan tersebut tidak penting, tidak pantas, atau terlalu dibuat-buat.

Pada dasarnya gimik itu memang dibuat untuk menarik perhatian. Ada yang tujuannya untuk memancing rasa sedih, nangis, tertawa, atau marah. Kalau kalian sebagai pemirsa jadi ikutan emosi, buat saya berarti tujuan gimik tersebut berhasil. Contoh paling jelas seperti acara “Academy” di sebuah statisun TV itu. Proses penjurian yang sangat panjang itu bisa jadi gimmick yang sengaja dibuat untuk menarik emosi kalian, para penontonnya. Bisa jadi lhooo…

Keberadaan gimik akan memaksa kru produksi untuk berspekulasi tidak hanya dalam keberhasilan eksekusinya, tetapi juga memprediksi apakah hal tersebut tersebut akan disukai pemirsa atau tidak. Tidak jarang, gimik yang cukup seru saat syuting rekaman, terasa adem ayem saat program tayang. Bahkan sebaliknya, jadi bahan makian sebagian pemirsa yang merasa terganggu.

Apa berarti gimik tersebut dapat dikatakan gagal? Gagal menurut pemirsa, bisa jadi justru sukses menurut tim produksi.

Alat Eksistensi

Berhasil atau gagal (menurut pemirsa), gimik justru bisa jadi salah satu alat eksistensi program. Apalagi kalau sampai viral. Eksistensi ini yang akhirnya menjadi pertimbangan lain selain rating dan share. Contohnya di program Masterchef Indonesia musim 7 tahun 2020 ini.

Buat saya, program ini justru lebih “hidup” karena ada Yuri. Sang kontestan yang selalu diberi title “dagangan.” Eks JKT 48 ini kerap dihujat netizen, karena dirasa tidak bisa masak, jual tampang doang, dan lain-lain. Belum lagi kenyinyiran tingkat dewa para kontestan lain yang diselipkan sebagai tayangan testimoni bernuansa provokasi. Terasa mewakili ke-julid-an pemirsa dan netizen pada sosok Yuri. Entah disengaja atau tidak, buat saya perundungan pada Yuri justru jadi gimik yang bagus untuk eksistensi program.

Laman Solopos pernah mengangkat esai dari Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi, dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Surakarta, yang mengatakan bahwa gimik menarik atensi dengan bermain di area psikis pemirsa. Bisa jadi, gimik dapat mempengaruhi sejauh mana tayangan tersebut membekas di benak mereka.

Saya jadi ingat, beberapa tahun lalu di sebuah grand final kontes musik, ditampilkan gimik berupa medley lagu para juri yang dinyanyikan oleh anak-anak mereka. Saat itu jurinya adalah Titi DJ, Ikang Fawzi, dan Hetty Koes Endang. Buat saya gimmick ini bagus banget, karena beberapa hal.

Pertama, para juri tidak mengetahui kalau item ini dinyanyikan oleh anak-anak mereka.

Kedua, anak-anak mereka saat itu belum memiliki pengalaman sebagai penyanyi profesional seperti orang tuanya. Jadi, dengan kualitas suara yang “sangat original” alias seadanya, sebagai pemirsa saya justru memaklumi dan ikut larut dalam emosi para juri melihat keberanian anak-anaknya untuk tampil.

Ketiga, ini yang paling juara, anak-anak tersebut tampil dengan busana jadul sang ibu/ayahnya. Perjuangan sang anak yang diam-diam membongkar lemari sang ibu, jadi cerita tersendiri yang tidak kalah seru. Buat saya, gimik yang keren seperti ini akan terus dikenang.

**

Mungkin buat sebagian pemirsa, gimik hanya sekedar menghabiskan durasi. Akan tetapi, zaman sekarang kalau tidak berani bermain di area tersebut, tayangan progam akan terlihat monoton dan membosankan. Di kalangan teman-teman produksi dulu, bila ada tayangan yang flat tanpa gimik, otomatis tersemat lencana program TV jadul. Jadi males nonton, atau malah rindu?

Editor: Nirwansyah