Keimanan dan kesehatan mental sering kali dibenturkan untuk memaksakan narasi bahwa manusia beriman sudah pasti tidak akan lemah dan depresi, sebab dua hal ini ibarat satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Tetapi, apakah memang iya, keadaan itu? Kalau kaitan baik-buruknya ibadah kita dapat dilihat dari seberapa sehatnya kesehatan mental kita? Untuk menjawabnya, perlu ditelaah kembali apakah fungsi ibadah itu sendiri dan implikasinya pada emosi (batin).
Perintah Ibadah (Sholat): Melatih ketenangan
Dalam satu ceramah yang dibagikan oleh akun Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat selaku pengisi suaranya mengatakan bahwa ibadah (dalam hal ini adalah sholat), membawa kita pada ketenangan.
Kunci untuk mendapatkan ketenangan itu ada pada sholat itu sendiri; dengan syarat jika kita melakukannya dengan tuma’ninah, mengikuti panduan sholat yang dianjurkan Nabi SAW., dan mengindahkan adab dalam ibadah itu sendiri.
Posisi sholat dalam keimanan Islam adalah sebagai pondasi sebagaimana dalam rukun Islam dan pemisahnya orang beriman dan orang yang tidak beriman.
Seseorang yang beragama Islam haruslah memupuk keislamannya dengan keimanan, dan bentuk keimanan itu adalah mempercayai perintah yang didatangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala; salah satunya adalah perintah sholat.
Konsekuensi jika kita sholat dengan benar adalah ketenangan, sebab di dalam sholat kita diminta memfokuskan diri untuk presenting the present.
Dalam ilmu meditasi, mengakui keberadaan membuat kita mengerti setiap siklus dan elemen kehidupan memiliki bentuk efek yang terkait satu sama lain.
Ilmu presenting the present ini membawa kita pada ketenangan sebab tolok ukur ketenangan itu bukan hanya mengakui perasaan atau keadaan yang saat ini dihadapi, tetapi dapat berupa kemampuan meneliti keadaan agar keluar dari permasalahan atau tantangan yang sedang dihadapi saat itu.
Sederhananya, sholat adalah salah satu cara kita mengeluarkan kemampuan mindfulness di dalam diri kita, di mana kemampuan ini membantu kita menjadi pribadi yang bijak dalam memahami ‘kesadaran’ dan keberadaan.
Implikasi Batin dari Sholat
Kondisi batin yang pengertian dan definisinya abstrak disimpulkan oleh Langer (1992) sebagai “kesadaran”. Tempat kesadaran adalah jiwa, dan dalam Islam, jiwa dapat diasosiasikan sebagai ruh.
Setiap manusia hidup dalam satu ruh yang berbeda-beda, sebab ruh atau jiwa sama kodrat kebutuhannya dengan tempatnya organ-organ tubuh kita (tubuh fisik), maka kodrat nutrisi itupun juga sama dibutuhkannya dengan tubuh fisik yang tampak.
Dalam tulisannya, Langer (1992) menceritakan tentang perilaku kelompok yang rutin melakukan meditasi sebagai pengamatannya. Hasil pengamatan itu menunjukkan bahwa bentuk kesadaran sadar (mindfulness) memiliki pengaruh pada sisi kognitif dan fisiologis.
Tulisan tersebut menyimpulkan bahwa kelompok dengan rutinitas meditasi mampu mengendalikan diri dari aktivitas rentan seperti alkoholisme sampai pada efek penuaan.
Aktivitas meditasi yang dicatatkan oleh Langer di atas adalah proses pemberian nutrisi pada jiwa sekelompok orang tersebut. Di mana meditasi yang digambarkan olehnya adalah dengan berdiam diri dan menyadari keberadaan.
Depresi dan Stigma Iman Lemah
Titik temu antara sholat dan kebatinan ada pada sikap mindfulness dalam sholat. Kebatinan kita memerlukan ketenangan yang harus dilatih terus-menerus dengan sholat.
Perbedaannya antara sikap berdiam diri saja dan sholat dalam menjemput ketenangan ada pada sandarannya; dengan sholat kita mengerti esensi diam dapat mengundang Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kita solusi, kesabaran, dan ketenangan.
Kembali pada pertanyaan awal, bagaimana jika keadaannya kita tetap sholat namun masih mengalami kesedihan? Apakah justru sholat yang tenang itu tidak punya dampak pada kebatinan?
Yang pertama kita harus pahami adalah, sholat bukan satu-satunya cara menyelamatkan diri dari kesedihan. Ketika kesedihan itu tidak lagi dalam batas wajar, maka sudah semestinya kita peka terhadap kebutuhan batin oleh profesional, misalnya kita harus bertanya dan konsultasi kepada konselor, psikolog, maupun psikiater.
Keimanan yang rendah tidak memiliki efek langsung pada kesedihan atau depresi, tetapi mental state yang berada pada kesedihan atau depresi itu dapat melemahkan kita dari keyakinan untuk ibadah.
Kedua, orang-orang yang memerlukan bantuan tidak boleh distigma sebagai orang yang tidak rajin sholat, tidak rajin ibadah, atau depresi dan stigma iman lemah dan sebagainya.
Sebab yang menjadikan mereka lemah dalam ibadah itu sendiri harus diobati terlebih dahulu sampai akhirnya mereka berada pada keadaan kesadaran yang sadar (conscious awareness).
Kondisi inilah syarat dasarnya ketika kita ingin memaksimalkan kondisi batin. Di mana konsekuensi dari kondisi batin yang sehat adalah nutrisi ruh yang terpenuhi pula.
Jembatan Kesehatan Mental
Pada akhirnya, kebutuhan batiniah dan sholat perlu dipersatukan dalam rangka memahami tanda-tanda sholat sebagai jembatan kesehatan mental.
Tetapi yang perlu dipahami lainnya ialah, kesehatan mental dari pandangan medis juga tidak boleh dinafikan. Sebab kehampaan itu bukan hanya tentang kesalahan pada sholat kita, tetapi juga ada hal-hal yang perlu diserahkan kepada ahlinya, dokter misalnya.
Saat ini, membenturkan narasi malas sholat sebagai sebab depresiatau tentang depresi dan stigma iman lemah, harus diklarifikasi ulang bahwa sholat dan kesedihan atau depresi bukan faktor sebab-akibat yang tunggal.
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments