Ngomongin soal isu toleransi yang tengah panas dibahas di negeri kita ini, Milenialis mau mengajak kamu untuk ikut mengulas buku Muhammad Al-Talbi, yang berjudul ‘Iyalullah: Afkar Jadidah fi ‘alaqah al-Muslim bi nafsihi wa bi al-akharin yang berbicara soal Fikih toleransi.
Setidaknya ada 5 (lima) tingkatan untuk membangun hubungan harmonis antar umat beragama. Ada apa aja sih? Let’s, check this out!
1. Saling mengenal (al-ta’aruf).
Nggak jarang orang tidak begitu saling mengenal dengan tetangga yang beda agama. Mungkin kita bertetangga saling mengenal dan bertegur sapa secara fisik, tetapi hanya basa basi. Padahal Islam mengajarkan untuk saling mengenal secara sosial, kultural, teologis, lebih-lebih masyarakat multireliji dan multikultural seperti Indonesia sangat penting budaya saling ta’aruf.
2. Saling memahami (al-Tafahum).
Proses berikutnya, setelah saling mengenal adalah saling memahami. Saling memahami bahwasanya dalam masing-masing agama, baik itu doktrin, ritual, sistem moral, kepemimpinan, sistem sosial adalah pasti berbeda, unik, dan tidak sama (distinctive values). Tetapi sikap yag penting adalah saling memahami perbedaan itu, dan menerima keberadaan orang lain tanpa syarat. Saling memahami tidak sampai menggerus keimanan. Sebaliknya keyakinan yang kuat, melahirkan sikap menghargai dan mengasihi sesama manusia.
3. Saling mengasihi (al-Tarahum).
Hampir mustahil, tahapan saling mengasihi dan mengasihani ini (al-tarahum) dapat diraih tanpa melalui kedua prasyarat sebelumnya. Saling kasih dan mengasihi nggak hanya terbatas dalam kelompok intern umat beragama sendiri. Saling kasih mengasihi menembus batas kelompok ras, etnis, suku dan agama sendiri. Tali kasih itu bersifat transras, transetnis, transsuku, transkelompok dan transagama dan kepercayaan yang dipeluk. Hanya di atas landasan rasa saling kasih-mengasihi, saling peduli, tolong menolong, maka dapat ditumbuhkan rasa simpati dan empati terhadap perasaan, penderitaan dan kesulitan yang dirasakan dan dialami oleh orang, kelompok dan penganut agama lain. Karenanya, dalam era kemanusiaan baru, khususnya pada aras kehidupan sosial ada benarnya adagium atau dictum yang menyatakan bahwa Humanity first, then Divinity.
4. Saling bersinergi-membangun solidaritas (al-tadhamun).
Solidaritas adalah kunci perdamaian sejati. Umat Islam, begitu juga umat beragama yang lain, nggak tega, nggak sampai hati, jika ada teman sejawat, sekampung, sebangsa dan senegara yang beda agama dalam keadaan kesusahan, kesulitan, di bawah tekanan dan penindasan oleh siapapun. Ketika terjadi bencana alam, semua orang tergerak membantu secara suka rela, tanpa pamrih, tanpa melihat dan mempertimbangkan asal usul ras, suku, agama dan kepercayaannya. Indah sekali melihat gerakan solidaritas sosial ketika terjadi bencana alam. Seolah seperti itulah corak hubungan yang sehat-positif-konstruktif dalam hubungan antar umat beragama dimanapun mereka berada.
5. Hidup berdampingan secara damai (al-ta’ayus al-silmi).
Akumulasi dan tergabungnya sifat-sifat dasar masyarakat majemuk secara etnis, ras, kelas dan agama dan kepercayaan di atas (al-ta’aruf, al-tafahum, al-tarahum dan al-tadhamun), jika terkelola dan dikelola dengan baik, terhimpun dan terajut dengan rapi dalam hati sanubari seluruh anggota masyarakat, maka himpunan dan rajutan itu akan berubah menjadi modal kultural dan modal sosial yang sangat kuat dan nggak ternilai harganya.
Nah lima hal itu, kiranya penting dijaga dan dirawat untuk menjaga persatuan dalam kebinnekaan di Indonesia. Semoga dapat memberi manfaat, dan selamat hari Jum’at!
Sumber: (Keluarga Allah: Gagasan Baru tentang Hubungan Muslim dengan Dirinya Sendiri dan dengan Orang Lain), 1992
Penulis: Azaki Khoirudin
Ilustrator: Ni’mal Maula
Comments