Fenomena informasi hoaks di masa darurat COVID-19 merupakan contoh riil yang dapat membahayakan pola pikir publik.  Faktanya, informasi hoaks yang banyak berseliweran sejak Pilpres 2019 lalu ini telah mempengaruhi diskursus sosial dan politik Indonesia secara signifikan.  Lantas, kenapa sih fenomena ini bisa terjadi?

Internet mempunyai andil besar dalam penyajian informasi publik.  Dengan sekali klik, konsumen dapat mengakses informasi dari berbagai sumber berita dan lini masa media sosial.  Namun, luasnya jangkauan dan banyaknya jumlah informasi yang tersedia dapat berkontribusi pada menurunnya kualitas konten dari informasi tersebut.  Dinamika ini tidak terlepas dari pengaruh “kultur kekinian” yang dibawa oleh internet.

Kultur Kekinian

Terma ‘kultur kekinian’ atau culture of nowness, pertama kali digunakan oleh peneliti bernama David Gelernter untuk mendeskripsikan peran internet terhadap penyajian informasi publik.  Internet memberikan peningkatan pesat terhadap debit arus informasi melalui tautan daring yang dapat setiap saat diakses oleh ponsel pintar Anda.  Internet juga berperan dalam membentuk struktur baru dalam penyajian informasi melalui fitur lini masa instan dan ruang publik yang marak di media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Twitter dan sebagainya.

Fitur-fitur ini tentu saja tidak bisa didapatkan di media cetak dan televisi, sehingga konsumen beralih menggunakan media sosial sebagai sumber informasi yang aktual.

Menariknya, kemudahan struktural dalam berinformasi ini justru membuat pengguna media sosial rentan terpapar hoaks.  Media sosial yang notabene memberikan ruang untuk berdiskusi mengenai isu-isu hangat sering dijadikan alat untuk menyebarkan propaganda dan framing media.

Hal ini disebabkan oleh sifat media sosial yang fleksibel dalam memberikan kesempatan untuk mengekspresikan opini tanpa memandang tingkat relevansi si pemberi opini tersebut.  Konsumen pun akan sulit menyaring informasi dalam jumlah besar yang bisa kapanpun menghampiri lini masa mereka.

Buzzer dan Influencer

Barangkali, pembaca mungkin sudah pernah mendengar istilah “buzzer” dan “influencer” yang telah ‘menjangkiti’ Indonesia selama beberapa tahun ini.  Mereka adalah individu/ kolektif yang meraup keuntungan dari penyebaran isu hoaks, propaganda dan framing media.

Buzzer adalah agen berbayar yang secara populer dimanfaatkan oleh politisi demi meningkatkan kredibilitas mereka.  Dengan memanfaatkan akun media sosial palsu dalam jumlah banyak, buzzer bisa membentuk ‘opini massa’ yang dapat memengaruhi pola pikir publik. Sedangkan influencer memanfaatkan popularitas mereka di dunia maya untuk memberikan validitas terhadap suatu informasi.

Sebuah riset oleh Mehdi Moussaid dan kolega dapat dikaitkan dengan strategi daring para buzzer dan influencer.  Riset tersebut menyatakan bahwa hasil dari sebuah diskusi dapat ‘direkayasa’ apabila anggota dari diskusi tersebut mempunyai karakteristik khusus yang dinamakan “Majority Effect” dan “Expert Effect”.

Majority Effect adalah apabila suatu hipotesis telah diterima secara informal oleh mayoritas peserta diskusi, dimana pada akhirnya dapat membuat peserta lain mengikutinya.  Sedangkan Expert Effect adalah apabila salah satu peserta diskusi mempunyai nilai jual yang dapat meningkatkan kredibilitas opini mereka seperti status sosial, keahlian persuasif dan latar belakang pendidikan.

Maka, tidak mengherankan apabila pengguna media sosial dapat dengan mudah termakan isu hoaks.

Pada akhirnya, kurangnya kesadaran dan rasa tanggung jawab dalam ber-media sosial juga berkontribusi pada menurunnya kualitas informasi dan diskursus sosial.  Sosialisasi terhadap isu hoaks dan pendalaman pengertian terhadap media dianggap perlu demi menciptakan masyarakat yang bukan hanya sadar teknologi, tapi juga cerdas dalam menggunakannya.

Penulis: Azka Dewarizqi Gunawan

Penyunting: Aunillah Ahmad