IP (indeks prestasi) merupakan hal yang familiar dalam dunia kampus. Selain itu, dunia perkuliahan/kampus memang memiliki ciri khas tersendiri dalam perjalanan hidup seseorang, utamanya pelajar. Bisa dibilang bahwa orang yang mampu menapaki perguruan tinggi adalah wong bejo. Beruntung. Sebab, sistematika pendidikannya dianggap dapat melahirkan “Orang” dan figuran yang prestisius di masyarakat.
Akan tetapi, pernyataan itu agaknya perlu direvisi. Karena, faktanya ada banyak “Orang” yang tidak pernah mengenyam dunia kampus. Mungkin inilah yang disebut dinamika kehidupan relatif, di mana nasib seseorang tak selalu sesuai dengan prediksi umum yang lazim diketahui awam.
Bagi yang sudah menyipi dunia ngampus, harusnya bersyukur lebih tinggi dan memanfaatkan waktu kuliahnya untuk hal-hal yang positif demi menunjang masa depannya. Begitupun bagi yang “mengakhiri” pendidikannya di tingkat sekolah menengah, wajib untuk tetap “belajar” selama ia masih diberikan nafas untuk hidup.
Long life study. Tak ada batasan umur untuk terus belajar hingga ajal menjemput. Hal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban atas nikmat akal yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Mahasiswa dan IP
Sebagian mahasiswa mungkin “Berjuang” untuk mendapatkan nilai A dari setiap mata kuliah yang dipelajarinya. Terutama mereka yang sudah rajin sejak masa sekolah sebelumnya. Ini fenomena yang wajar, di mana nilai atau Indeks Prestasi (IP) akademik mempunyai peran vital bagi mahasiswa, baik sebagai syarat naik kelas, KKN, Skripsi hingga kelulusan. Di samping itu, IP Juga memiliki peran dalam beberapa hal, seperti seleksi beasiswa, pengurus organisasi hingga rekrutmen kerja.
Secara eksistensinya, IP ada karena mahasiswa dan mahasiswa ada karena IP-nya. Ibarat ikan remora dengan ikan hiu. Mahasiswa memiliki keterkaitan khusus dengan IP, yang mana IP sendiri “Tidak” terlalu membutuhkan mahasiswa. Namun, hakikatnya mahasiswalah yang benar-benar membutuhkan IP sebagaimana ikan remora yang membutuhkan ikan hiu.
Jangan Terlalu “Fokus” pada IP
IP menjadikan mahasiswa memiliki “Nilai” dalam program studi yang ditempuhnya. Sehingga ia bisa menjadi masyhur di kalangan teman-temannya maupun dosen-dosen pengajarnya. Sekali lagi, bahwa IP memiliki tempat yang istimewa dalam dunia kampus dan eksistensinya berperan dalam momen-momen sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Akan tetapi, dalam beberapa kejadian IP justru menjadi sia-sia tatkala sang pemilik tidak memiliki kualifikasi yang sesuai. Almarhum KH. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU, pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Setiap tahun kampus-kampus mengeluarkan ribuan lulusan S1, S2, dan S3. Namun, ada saja yang berbuat jahat dengan ilmunya. Menurut beliau, hal tersebut terjadi karena tidak adanya mas’ûliyyatul ‘ilmi (pertanggungjawaban ilmu) yang diperoleh.
Lebih jauh lagi menurut beliau, bahwa membuat pintar orang yang sudah benar itu lebih mudah daripada membuat benar orang yang sudah pintar. Pernyataan beliau ini seolah menanggapi maraknya kasus dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia yang melibatkan “Orang-orang pintar” seperti korupsi, suap, kecurangan, kezaliman, dan penindasan rakyat. Perlu direnungkan oleh setiap mahasiswa dan akademisi.
Tidak sedikit mahasiswa yang berjuang meraih IP tinggi agar bisa lulus dengan predikat cumlaude, dan tak sedikit pula di antara mereka kurang memiliki potensi yang memenuhi kualifikasi masyarakat.
Ada dua kemungkinan. Pertama, terlalu fokus dengan IP, sehingga tidak mengembangkan soft skills atau keterampilam yang harus dikuasai. Kedua, tidak memiliki integritas dalam meraih IP dan cenderung abai terhadap akhlak perilaku, norma, dan nilai-nilai sosial.
Hasil survei National Association of Colleges and Employers (NACE) di Amerika Serikat pada tahun 2002 menyebutkan, bahwa IP tinggi (rata-rata 3>) hanyalah nomor ke 17 dari 20 yang menentukan keberhasilan seorang lulusan perguruan tinggi. Poin nomor 1 hingga 16, hampir semuanya hal-hal yang familiar di lingkungan masyarakat. Antara lain, kemampuan berkomunikasi yang baik, integritas, etos kerja yang baik, akhlak perilaku yang baik, kesopanan, ramah tamah, kebijaksanaan, kemampuan berorganisasi dan bekerjasama, leadership, adaptasi yang baik, dan memiliki inisiatif serta motivasi.
Improvisasi Soft Skills
Banyak sekali kegiatan atau event dalam dunia kampus dengan benefit yang luar biasa untuk menunjang improvisasi itu semua, seperti seminar, konferensi tingkat daerah, nasional hingga internasional, training, diskusi dan kajian-kajian ilmiah. Semuanya bernilai mahal dan menjadi faktor dalam meningkatkan kualitas skill mahasiswa. Asalkan semuanya diaktualisasikan dengan nyata.
Juga ada organisasi ekstra, unit kegiatan mahasiswa, gerakan sosial serta lembaga-lembaga di masyarakat yang sekiranya memerlukan peran aktual mahasiswa harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ini bisa mendorong terbentuknya soft skills yang berkualitas dalam diri mahasiswa, sehingga ia akan tahu bagaimana harus berperan.
Bukan berarti IP boleh diabaikan, sehingga dalam beberapa kasus ada saja mahasiswa aktif dan memiliki soft skills cukup mumpuni, namun menyepelekan studinya dengan beragam alasan. Akhirnya, hal demikian menghambat masa studi yang seharusnya ditempuh dalam 4 tahun (atau waktu seharusnya) menjadi lebih lama, sehingga harus mengeluarkan biaya lebih.
Idealnya, mahasiswa istimewa ialah dia yang memiliki soft skills berkualitas dan juga IP yang baik. Mahasiswa seperti inilah yang sangat diharapkan kontribusinya bagi masyarakat dan bangsa ketika ia telah selesai dan lulus dari kampusnya.
Mahasiswa itu seharusnya kamu! Dan kita semua!
Comments