Sebagai mantan mahasiswa si paling organisatoris, saya kerap bertemu bebagai mahasiswa dari lintas ormawa. Mulai dari angkatan senior, teman seangkatan sampai adik tingkat. Masing-masing dari mereka, memiliki pemahaman terhadap dunia ormawa yang beranekaragam. Tergantung latar belakang dari setiap individu.
Hasil dari bertemu dengan berbagai mahasiswa organisatoris tersebut. Saya jadi banyak menampung, berbagai macam petuah. Baik pertuah yang bermanfaat, maupun petuah yang aneh atau bodoh.
Dari sekian banyak petuah bodoh, yang berhasil saya ingat dan himpun. Ada satu petuah yang saya anggap, paling bodoh. Petuah tersebut, kurang lebih berbunyi begini, “jangan sampai kuliahmu mengganggu kegiatan ormawa”.
Saat pertama kali jadi kader ormawa, pasti jarang yang membantah petuah tersebut. Padahal, petuah tersebut sama sekali nggak tepat. Mengingat beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1. Tujuan jadi mahasiswa itu kuliah dan meraih gelar sarjana
Ketika seseorang mendaftar untuk seleksi masuk suatu kampus, rata-rata tujuan utamanya untuk apa kira-kira ?. Pasti untuk dapat berkuliah di kampus tersebut, benar bukan ?. Minimal, bisa sampai meraih gelar sarjana. Syukur-syukur, kalau nilainya bisa cumlaude. Apalagi, bisa jadi lulusan terbaik.
Saya rasa, nyaris nggak ada calon mahasiswa yang ikut seleksi masuk sebuah kampus, dengan tujuan untuk ikut salah satu ormawa di kampus tersebut. Lha wong biasanya, mahasiswa baru nggak tau satu pun nama ormawa yang ada di kampus. Sebelum diperkenalkan saat acara ospek.
2. Kuliah dibiayai orang tua
Mayoritas dari kita, kuliah dibiayai oleh beasiswa BI (Bapak Ibu). Tanpa dasar itu, belum tentu kita bisa meraih titel sarjana. Walaupun, itu dianggap sebagai tugas orang tua, untuk mengantar anaknya sampai di depan pintu gerbang kesuksesan.
Tapi terkadang, saat kuliah, anak lebih mendengar ucapan para seniornya ketimbang orang tuanya sendiri. Salah satu ucapan senior yang kerap didengarkan adalah petuah yang sedang dibahas pada tulisan ini. Padahal, orang tuanya sedang membanting tulang untuk bayar UKT, dengan harapan agar anaknya bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.
Selain itu, apa mau senior-senior ormawa yang berpetuah seperti itu membiayai kuliah juniornya ?. Atau minimal memenuhi kebutuhan sehari-hari selama kuliah. Pasti nggak akan mau kan !?.
3. Biaya UKT mahal
Kalau zaman dulu, banyak cerita senior kampus yang lulus terlambat demi ormawa. Bahkan, bisa sampai empat belas semester. Cerita seperitu itu, kerap dianggap kisah yang heroik dan keren, bagi para junior di ormawa.
Padahal cerita seperti itu bisa terjadi, salah satu faktornya adalah biaya UKT perguruan tinggi yang masih terjangkau. Belum semahal biaya UKT hari ini. Baik di lingkungan kampus negeri maupun swasta.
Bahkan, UIN yang dulu terkenal sebagai kampus dengan biaya pendidikan terjangkau. Sekarang, jadi mahal juga. Mengikuti biaya kampus pada umumnya.
Kasihan orang tua yang telah bekerja keras, demi membiayai kuliah. Kalau tau fakta bahwa anaknya mengesampingkan kuliah. Hanya untuk aktif di ormawa.
4. Tanggungjawab di ormawa itu nomor dua, kuliah itu nomor satu
Walaupun saya aktif di beberapa ormawa saat kuliah, saya sadar prioritas sebagai mahasiswa. Memang benar bahwa memiliki jabatan dan tanggungjawab di ormawa, wajib untuk ditunaikan. Tidak bisa, tidak.
Akan tetapi, prioritas saya tetap kuliah. Tanggungjawab dan kegiatan ormawa itu nomor berikutnya. Jangan suka dibolak-balik.
Mengatur prioritas dan waktu, membuat saya dapat menjalani keduanya dengan cukup berhasil. Dapat nilai baik di bangku kuliah. Dan dapat menyelesaikan tanggungjawab selama aktif di ormawa.
Kesimpulan tulisan ini adalah petuah tersebut terbukti bodoh. Sebab pasalnya, kuliah dan aktif di ormawa itu bisa nggak saling mengganggu. Asal, pintar-pintar dalam mengatur waktu dan prioritas.
Editor : Assalimi
Gambar : Google
Comments