Arafat Nur dengan novel Kawi Matin di Negeri Anjing berhasil mendapat juara kedua pada ajang sayembara novel yang diadakan oleh penerbit Basabasi. Novel ini juga diterbitkan oleh Basabasi pada awal 2020. Dan karena saya cukup suka dengan buku-buku Arafat Nur sebelumnya, maka saya putuskan untuk membeli buku ini.

Kawi Matin: Si Kuat nan Kokoh

Novel ini bercerita tentang perjalanan hidup Kawi Matin. Ia adalah seorang pemuda Aceh, yang terlahir sebagai seorang disabilitas pada bagian kakiknya. Nama Kawi Matin diberikan oleh Rahman, selaku bapaknya. Arti dari nama tersebut adalah Kawi yang berarti kuat, dan Matin yang berarti kukuh.

Rahman menginginkan agar anaknya menjadi orang kuat yang dapat tetap tegar melawan berbagai cobaan yang akan dilaluinya. Benar saja, Kawi tumbuh menjadi orang yang kuat. Walau memiliki kekurangan, tapi Kawi tidak pernah mengeluh. Pun walau tumbuh dalam keluarga miskin, Kawi tetap tumbuh sehat sebagai mana namanya. Ketika kanak-kanak, Kawi bahkan sudah bisa melakukan berbagai pekerjaan kasar.

Di sisi lain, Kawi memiliki keluarga yang terbilang harmonis. Meskipun hidup miskin di tengah peperangan, tetapi ia memiliki orang tua yang penyayang dan juga memiliki kakak yang selalu ada untuk melindunginya.

Kisah baik ini tidak berjalan lama, satu per satu cobaan berat menghampiri keluarga Kawi. Hidup di tengah peperangan tidaklah mudah. Setelah kakaknya Kawi meninggal karena kecelakaan, beberapa tahun kemudian bapaknya harus menyusul karena dicurigai sebagai pemberontak. Ini membuat Kawi menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Penceritaan latar peperangan ini sangat menyeramkan bagi saya, dari sini saja saya sudah geram.

Belum lagi cerita ibunya Kawi yang sakit-sakitan. Tidak ada akses kesehatan yang mudah di sebuah kampung yang sedang dilanda perang. Belum lagi kisah tentang adik dan kekasih Kawi. Rasanya pedih sekali penderitaan yang Kawi dan warga sipil yang terjebak di tengah-tengah peperangan.

Tentang Sistem

Negeri Anjing pada novel ini diartikan seperti tempat yang memang sudah rusak. Tidak ada sistem yang berpihak kepada orang seperti Kawi. Sistem yang rusak, tentu dijalankan juga dengan orang-orang yang rusak pula. Tidak ada belas kasihan yang ditunjukan kepada orang-orang yang tergabung dalam sistem. Seolah-olah, semuanya memusuhi dan melawan orang seperti Kawi. Sudah tidak tahan, Kawi akhirnya mencoba melawan.

Perlawanan dilakukan dengan sebenar-benarnya perlawanan. Sesuai dengan tulisan pada sampul belakang buku ini. “Kawi Matin berada dalam kawanan anjing. Luka batin itu menyeretnya menjadi pemberontak, kemudian pencuri, dan akhirnya pembunuh keji”. Tenang, walaupun Kawi berubah, tapi perubahannya tidak seperti Arthur Fleck pada film Joker.

Cerita dengan latar konflik di Aceh bukanlah hal yang baru bagi Arafat Nur. Saya sudah membaca novel Arafat Nur lainnya, seperti Lampuki, Tanah Surga Merah, Tempat Paling Sunyi, Percikan Darah di Bunga, dan juga kumpulan cerpen Serdadu dari Neraka.  Hanya saja, pada novel Tanah Surga Merah cerita berfokus pada latar waktu setelah perang—saat  kondisi damai, di mana hanya ada konflik internal, mantan pemberontak yang sudah menjadi anggota partai lokal.

Tapi untuk novel satu ini nuansa peperangannya lebih tergambar dengan jelas, mudah sekali untuk larut dalam imajinasi perang yang brutal tersebut. Sama seperti novel Arafat Nur lainnya terutama Lampuki, novel ini banyak mengkritik segala hal. Kritik yang disampaikan juga bukan hanya tertuju pada satu orang atau kelompok, tapi secara keseluruhan, untuk semua orang zalim. Hanya saja kritik pada novel ini dibuat lebih lembut, tidak sekeras novel Lampuki.

Dibandingkan novel Arafat Nur lainnya, kelebihan dari Kawi Matin di Negeri Anjing menurut saya adalah pembaca bisa sangat bersimpati pada tokoh Kawi, dan juga orang terdekat Kawi. Mustahil rasanya jika tidak marah sekaligus sedih saat membaca novel ini.