Ada pepatah mengatakan “sudah jatuh tertimpa tangga”. Itulah gambaran betapa malangnya kami, anak-anak SMA yang lulus di tahun 2020.

Kita semua tahu, pandemi covid-19 ini mengakibatkan hampir semua sektor di Indonesia jatuh. Ekonomi, kesehatan, politik, sosial budaya, pembangunan, industri, tak terkecuali sektor pendidikan yang ikut mencicipi pahitnya dampak pandemi yang tidak pandang bulu ini. Tak terkecuali anak muda dalam kisaran usia 17 tahun seperti kami-kami ini sekalipun, yang digadang-gadang paling kecil mengalami gejala covid-19 ini.

Diawal kemunculan berita tentang adanya covid-19 di Wuhan Kurang lebih akhir tahun 2019 sampai pada akhir Februari, saya menyangka virus ini hanyalah sebuah virus yang akan menetap di daratan Tiongkok dan tidak akan berdampak bagi masyarakat kita sendiri. Anak-anak SMA seperti kita masih mengadakan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan beberapa event di sekolah seperti malam keakraban (makrab), bahkan mengikuti ujian praktik, ujian sekolah dan rentetan ujian yang lain.

Hingga akhirnya pada awal Bulan Maret, virus covid-19 ini mulai terdeteksi di Indonesia. Dengan adanya beberapa pasien yang dinyatakan positif di daerah JABODETABEK. Saat itulah keresahan kami mulai muncul. Benar, tidak berselang lama, beberapa sekolah di JABODETABEK mulai menerapkan Learn From Home (LFH) untuk mengurangi penyebaran virus ini.

 

Covid-19 dan dampaknya terhadap pendidikan Indonesia

Akhirnya pada pertengahan Bulan Maret, hampir seluruh sekolah di Jogja menerapkan LFH, termasuk sekolah saya. Mungkin bagi adik kelas saya LFH bisa menjadi sesuatu yang agak menyenangkan sedikit karena “bisa belajar dengan santai”, tetapi bagi saya dan teman-teman seangkatan, kebijakan ini adalah awal dari kesulitan yang harus kami hadapi. Bayangkan saja, penerapan LFH ini diumumkan tepat 10 hari sebelum pelaksanaan Ujian Nasional (UN).

3 hari selama LFH kami mendengar desas-desus tentang dibatalkannya UN. Tentu saja hal ini membuat kami semakin bingung dengan langkah apa yang harus kami lakukan kedepannya –tetap mempersiapkan UN atau bagaimana. Betul saja, pada tanggal 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran yang salah satu poin didalamnya adalah penghapusan UN tahun 2020. Di titik ini, kami merasa sedikit lega karena setidaknya satu beban tanggungan telah berkurang. Mulailah kami meyakinkan diri untuk fokus terhadap SBMPTN yang waktunya tinggal 2-3 minggu lagi.

Rupanya tidak sampai situ saja, setelah dibingungkan dengan penerapan sistem kegiatan belajar-mengajar dari rumah dan penghapusan Ujian Nasional, angkatan saya juga dibingungkan dengan sistem Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Lagi dan lagi kami mendengar kabar burung. Kali ini tentang pengunduran waktu pelaksanaan SBMPTN. Hadeh, kali ini sudah enggak kaget dan hanya menunggu waktu saja. Dan benar kan, tanggal 6 Maret 2020, Lembaga penyelenggara SBMPTN mengeluarkan surat edaran yang isinya:

  1. Pengunduran waktu SBMPTN sampai bulan Juli
  2. Sistem SBMPTN menjadi sekali
  3. Materi tes yang diujikan hanya Tes Potensi Skolastik (TPS)

Apa aja yang bikin gemes sekarang? Okelah pengunduran waktu ujian yang lama memberi kami kesempatan belajar lebih. Tapi sistem yang berubah dari yang awalnya sistem ujian dilakukan sekali menjadi dua kali lalu menjadi sekali lagi, hingga penghapusan materi Tes Potensial Akademik (TKA) ini tentu bikin saya agak kesal. Strategi belajar harus diubah, begitu pula strategi memilih universitas.

 

***

Itulah beberapa hal yang bikin saya cukup kesal harus lulus di tengah pandemi begini. Angkatan kami harus menghadapi berbagai kejutan dengan adanya berbagai perubahan kebijakan akademik. Semoga pandemi ini segera berakhir sehingga kita dapat melakukan aktivitas seperti biasanya lagi, termasuk dalam belajar. Buat temen temen seangkatan saya tetep semangat semua, dibalik ini pasti ada anugerah Tuhan yang besar buat kita semua.

 

Penulis: Hanif Indhie

Ilustrator: Ni’mal Maula