Masih terbayang dalam ingatan saya dan publik pada umumnya kasus korupsi terviral di era Pak SBY saat masih menjabat. Bahkan kasus tersebut harus disiarkan secara live kepada khalayak untuk menciptakan transparansi dan keadilan dalam mengungkap kebenaran dibaliknya.

Itulah kasus bailout bank Century tahun 2008-2009 yang menguras fulus negara hingga Rp 6,7 Triliun! Alangkah kaget bukan kepalang masyarakat saat itu dimana sebuah bank kecil yang mengalami kesulitan likuiditas memohon dana talangan yang tiba-tiba membengkak gak karu-karuan.

Namun ternyata kasus tersebut bukanlah yang terbesar, sekarang masyarakat kembali dihebohkan dengan tekornya negara dengan jumlah fantastis puluhan kali lipat dari kasus century sebesar Rp78 Triliun, innalillah…

Bos Duta Palma Group Surya Darmadi alias ‘Apeng’ menjadi salah satu tersangka yang menjadi buronan KPK dan Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau seluas 37.095 hektare pada tahun 2014.

Kasus ini pun layak mendapatkan rekor dan dinobatkan sebagai kasus korupsi terbesar dalam sejarah negeri.

Siapakah Surya Darmadi alias ‘Apeng’?

Ternyata belio ini bukan manusia kaleng-kaleng. Selain ‘big boss’ perusahaan raksasa perkebunan dan pengolahan kelapa sawit dengan total 8 pabrik plus penyulingan yang tersebar di Jambi, Riau dan Kalimantan. Majalah Forbes mencatat bahwa si belio ini juga orang terkaya no 28 se-Indonesia Raya pada tahun 2018!

Ya salaam… udah kaya masih juga uang negara digarong, pun nilai kekayaannya ditaksir mencapai 1,45 miliar dollar, kalau dikonversi ke rupiah kira-kira hampir Rp 21 Triliun. Bukan main!

Seharusnya para konglomerat ini barsatu padu membantu program negara dalam mengentaskan kemiskinan, bukannya menambah kemiskinan baru dengan menggondol pergi uang Rp 54 Triliun, karena pada hakikatnya yang di rampok itu bukanlah uang negara, melainkan uang rakyat yang diamanahkan kepada negara untuk diurus dengan sebaik-baiknya.

Kronologi Kasus

Berawal dari pengembangan kasus yang menjerat Gubernur Riau Anas Maamun dkk terkait kasus dugaan suap alih fungsi hutan Riau. Apeng selaku pemilik dan Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta menyerahkan Rp3 Miliar pada Anas untuk mengubah lokasi perkebunan milik PT Duta Palma menjadi bukan kawasan hutan.

Suheri merupakan ‘tangan kanan’ Apeng yang ditugaskan untuk memuluskan perizinan lahan perkebunan milik Duta Palma Group dan anak usahanya, termasuk PT Palma Satu.

Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008 Raja Thamsir Rahman juga ikut diseret sebagai tersangka karena menerbitkan izin lokasi dan usaha secara melawan hukum  kelima anak perusahaan milik Apeng yaitu PT Panca Agro Lestari, PT Palma Satu, PT Seberida Subur, PT Banyu Bening Utama dan PT Kencana Amal Tani.

Anas Maamun telah bebas pada 20 September 2020 lalu setelah menjalani hukuman 7 tahun penjara dengan pengurangan 1 tahun karena mendapat grasi dari presiden. Namun, tak lama berselang tepatnya pada Rabu (30/3/2022) Anas kembali diciduk KPK karena diduga menyuap sejumlah anggota DPRD Riau terkait RAPBD tambahan tahun 2014 dan RAPBD tahun 2015.

Sementara Suheri Terta sendiri dalam kasasi yang diajukan KPK sudah divonis 3 tahun penjara dan denda 50 juta dengan subsider 3 bulan kurungan. Namun, yang menjadi persoalan utamanya sekarang Apeng ngacir ke luar negeri dan diduga ke Singapura dengan membawa uang rakyat Rp54 Triliun!

Walaupun Kementerian Luar Negeri Singapura membantah hal tersebut, mereka tetap bersedia membantu RI jika memohon secara resmi kepada Pemerintah Singapura.

Kontras dengan Kasus UAS

Masih ingat dengan kasus Ustadz Abdul Somad (UAS) yang ditolak di Singapura? Menurut penuturan Dubes RI untuk Singapura Suryo Pratomo, UAS ditolak masuk Singapura dengan alasan not to land notice atau tidak boleh mendarat karena tidak memenuhi kriteria yang sudah ditentukan oleh Immigration & Checkpoints Authority (ICA) Singapura, padahal semua dokumen perjalanan sudah lengkap terpenuhi.

Apapun alasan dari Pemerintah Singapura, publik sudah terlanjur sinis dan skeptis karena memperlakukan ulama tersohor di negeri ini dengan tidak layak, menempatkan dan menginterogasi UAS dalam ruangan sempit berukuran 1×2 meter yang berbeda dengan ruangan rombongan UAS yang lain, tidak mengizinkan UAS walaupun hanya untuk menyerahkan tas bayi pada istrinya.

Banyak yang bertanya-tanya apakah Singapura kini sudah menjadi negara yang mempekerjakan robot? Atau efek WFH selama pandemi sehingga kemampuan berkomunikasi kian terhenti. Mengapa berbeda nasib ulama dan koruptor?

Sementara para buronan kelas kakap seperti Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim (Kasus BLBI merugikan negara Rp 4,5 T), Harun Masiku (Anggota PDI-P kasus suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024) dan buronan lain diberikan karpet merah yang siap dilewati, sementara ulama kami di bully dan dideportasi, sungguh kontras sekali nasib ulama dan koruptor penjarah negeri.

Satu kata dari kami untuk para maling uang rakyat, yaitu “SIKAT”.

Editor: Lail

Gambar: Pexels