“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama dukung deforestasi.” begitulah salah satu ungkapan Bu Siti Nurbaya Bakar di medsos nya yang bikin geger gedhen akhir-akhir ini.

Wah, gemreges baca tulisannya. Saya sempat berharap ini adalah ke-typo-an yang gak sengaja diupload oleh admin medsosnya. Namun setelah saya tunggu dan perhatikan beberapa saat, nampaknya narasi tersebut memanglah sebuah kejujuran atas apa yang direncanakan seorang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutananan untuk Indonesia kedepannya ini.

Jujur, saya belum menemukan maksud baik terselubung dari apa yang disampaikan oleh Bu Menteri. Karena selayaknya orang awam, saya paham ada banyak masalah negara yang tidak saya ketahui semuanya, sehingga sudah biasalah jika kebijakan pemerintah dengan tujuan baik sekalipun, terkadang tidak banyak disetujui dan menuai kontroversi. Tapi kali ini beda lur, narasi ini begitu ngawur.

Berdalih untuk pembangunan jalan, tapi nyatanya…

Bu Menteri ini seolah menggunakan dalih pembangunan jalan daerah terpencil untuk menghalalkan segala cara termasuk tindakan deforestasi. Tapi, apa yang diucapkan ibu menteri ini tidak sepenuhnya salah sih, karena beliau hanya berusaha menjalankan tugas dari apa yang sudah diatur oleh Omnibus Law, yaitu percepatan infrastuktur :’)

Tapi kan, Bu, saat ini dunia sedang fokus dalam penanganan krisis iklim. Apa yang disampaikan oleh Bu Bakar ini sangat kontradikitif atas apa yang tertulis dalam Deklarasi Para Pemimpin Glasgow, yang mana ada Pak Jokowi juga di dalamnya, tentang Penggunaan Hutan dan Lahan untuk menghentikan deforestasi dan memperbaiki lahan yang rusak akibatnya.

Ibu juga bilang kalau “Kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah—kaidah berkelanjutan di samping tentu saja harus berkeadilan.” Sayang sekali ini tidak sesuai dengan potret alam sebenarnya. Bisa kita lihat dengan mata telanjang, berbagai aktivitas deforestasi yang brutal mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti karhutla, longsor, kekeringan, banjir, ini adalah beberapa bukti kelalaian pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkeadilan. Ingat, Bu, pembangunan yang brutal tak akan pernah mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat seperti yang Ibu idamkan, yang ada malah mengundang serangkaian “kutukan sumber daya alam” yang sustainable.

Nah, untuk masalah pembangunan jalan warga terisolasi, seperti yang ibu tulis “di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya. Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi?.”

Salahsatu solusi yang seharusnya bisa jadi pilihan si Ibu

Ibu menteri tidak perlu khawatir, karena ada opsi yang lebih berkeadilan, yakni Green Economy atau Ekonomi Hijau. Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Ekonomi ini bertujuan untuk mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi, sekaligus menerapkan pembangunan berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Jadi Bu Menteri gak perlu repot-repot melakukan deforestasi yang bertentangan dengan prinsip pencegahan krisis iklim, karena pasti masih ada cara yang lebih ekologis untuk membangun kehidupan rakyat Indonesia.

Perihal Green Economy juga sudah pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam acara Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional pada Mei 2021 lalu “Oleh sebab itu transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai. Green Economy, green technology dan green product harus diperkuat agar kita bisa bersaing di pasar global.” Cocok nih, apa yang dikatakan Pak Presiden butuh sekali mendapat tindakan afirmatif dari para menterinya.

Ayolah, Bu. Jangan malu-maluin Pak Presiden yang baru saja pada tanggal 1 November 2021 dalam KTT COP26, sudah susah payah membangun kepercayaan dengan 100 negara lebih di dunia untuk bersama menghentikan krisis iklim. Kan gak lucu kalau dibantah sendiri oleh menterinya. :’)

Sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan negara Indonesia yang di dalamnya terdapat kekayaan alam dan hutan sebagai salah satu paru-paru dunia, kami harap Ibu Siti Nurbaya Bakar bisa mengambil kebijakan yang kompak dan selaras dengan agenda pencegahan krisis iklim pada tahun 2030. Ya, 2030, sembilan tahun dari sekarang menjelang krisis iklim, dan jika anda masih saja membantah zero deforestation. Wah, bukan maen. Mundur saja, Bu jika tak mampu membawa Indonesia keluar dari bencana krisis iklim.

Editor: Nawa

Gambar: Riaukarya.com

Sumber:

United Nations Environment Programme

CNN Indonesia

Twitter @SitiNurbayaLHK