Akhir-akhir ini isu tentang perjuangan kesetaraan gender sedang naik, apalagi ditambah kasus pelecehan seksual yang marak tejadi. Namun, perjuangan kesetaraan gender sudah terjadi sejak zaman kolonial dulu.

Jika kalian pernah nonton film Bumi Manusia yang diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer, kalian pasti mengenal sosok Nyai Ontosoroh. Seorang gundik orang Belanda yang mengurus perkebunan milik suaminya namun pada akhirnya dia malah terusir. Tidak mendapat hak mengasuh anaknya mengasuh anaknya sendiri bahkan perkebunan yang selama ini dia urus malah direbut, dan mendapat cibiran dari masyarakat sekitar.

Memang begitu nasib gundik-gundik pada zaman kolonial dulu. Buat kamu yang tidak paham apa itu gundik, gundik adalah seorang perempuan pribumi yang dijadikan pasangan oleh orang Belanda atau Eropa namun tidak dinikahi secara sah, sebab gereja melarang orag Eropa menikah dengan pribumi.

Oleh karena itu, status gundik ini tidak jelas, bahkan ada yang menyamakannya dengan pelacur semata. Zaman kolonial dulu memang marak praktek pergundikan. Nyai Ontosoroh hanyalah salah satu contoh, walaupun dia adalah tokoh fiktif, namun diadaptasi dari kondisi sosial yang nyata.

Namun, terdapat cerita yang menarik dari Kecamatan Maesan yang berada di perbatasan antara Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Jember. Tepat di seberang pom bensin Maesan, di areal persawahan terdapat sebuah kompleks pemakaman kecil dengan salah satu makam yang paling mencolok diantara makam yang lainnya.

Makam tersebut memiliki nisan yang besar dan tinggi dengan ukiran tulisan bahasa asing berbunyi “Hier Rust Djemilah Birnie, Geb: 30 Juni 1845, Overl : 14 April 1906” yang jika diartikan  “Di sini beristirahat Djemilah Birnie, Lahir 30 Juni 1845, Wafat 14 April 1906”. Ini adalah makam Djemilah Birnie, istri dari seorang berkebangsaan Skotlandia bernama Gerhard David Birnie.

Nama Birnie, tentu sudah tidak asing lagi di telinga orang Jember atau Bondowoso. Yang paling terkenal adalah George Birnie yang membangun perkebunan tembakau pertama di Jember dan diangkat sebagai Bapak Jember Modern oleh Pemda Jember.

Gerhard merupakan sepupu sekaligus partner dari George. Yang unik adalah, Djemilah yang dinikahi oleh Gerhard merupakan seorang pribumi, kemungkinan besar dia berasal dari suku Madura yang didatangkan dari Pulau Madura untuk bekerja di perkebunan tembakau.

Di tengah praktek pergundikan yang marak, Gerhard justru memilih untuk menikahi Djemilah secara sah, hingga dia berhak menyandang nama Birnie di belakang namanya. Selain itu, dia juga berhak untuk mengasuh anak-anaknya, terlihat dari beberapa makam kecil di dekat makam Djemilah yang diduga adalah makam anak-anaknya.

Tak hanya Gerhard, Goerge juga memilih untuk menikahi seorang perempuan pribumi. Tentu pilihan Gerhard dan George Birnie terbilang langka pada zaman itu. Tidak terbayang seperti apa cibiran yang mereka dapat dari sesama orang Eropa terutama dari pihak gereja saat memutuskan untuk menikahi perempuan pribumi.

Namun ini menunjukkan bahwa Gerhard dan George turut memperjuangkan kesetaraan gender. Mereka menghormati wanita pribumi sebagai wanita seutuhnya, bukan sebagai properti yang bisa berpindah-pindah tangan seperti yang menimpa para gundik.

Penghormatan Gerhard bisa dilihat dari makam Djemilah yang dibuat kokoh hingga orang-orang bisa melihatnya sampai hari ini. Seperti cerita dibangunnya  Taj Mahal, yah meskipun makam Djemilah kalah jauh dari Taj Mahal, setidaknya makamnya lebih mencolok dan kokoh daripada makam pribumi yang lain.

Tak hanya memperjuangkan kesetraan gender, dua orang berkebangsaan Skotlandia ini juga memperjuangkan kesetaraan ras. Mereka tak jumawa meskipun terlahir menjadi ras kulit putih yang unggul.  

Sayangnya, saat berkunjung ke makam Djemilah Birnie beberapa minggu yang lalu, makam tersebut penuh corat-coret cat dan pilok. Seperti menjadi korban vandalisme. Entah siapa pelakunya dan apa motifnya, yang jelas sayang sekali jika orang-orang tidak menghargai sebuah makam dengan nilai sejarah dan nilai kemanusiaan yang sangat kaya ini.  

Seharusnya pihak terkait menjaga dan merawat situs sejarah semacam ini, atau jangan-jangan mereka tidak tahu menahu bahwa makam ini makam bersejarah dan tidak mengerti tentang sejarahnya?

Editor: Ciqa

Gambar: Google.com