Katanya, “Successful people think differently than unsuccessful people” (Perbedaan antara orang sukses dan yang belum sukses adalah dari cara berpikirnya). Meminjam istilah Weber, bahwa konstruksi nalar berpikir kita ditentukan oleh hidup di lingkungan siapa dan apa. Pernyataan Weber ini sangatlah signifikan untuk dikaji, bahkan relevan untuk dihadirkan ke permukaan.

Pertama adalah, kita hidup di lingkungan siapa? Kalau berada di lingkungan kaum fundamentalis, maka tidak menutup kemungkinan kita akan berpikir seperti kaum fundamentalis. Begitupun dengan kita yang hidup dilingkungan kaum nihilisme, yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati. Maka kemungkinan besar cara berpikir kita akan seperti itu. Kedua adalah kita hidup di lingkungan seperti apa? Apakah kita hidup di lingkungan yang orang-orangnya idealis? Kalau memang demikian maka kita akan terbawa idealis. Ataukah hidup di lingkungan yang perfeksionis seperti orang-orang di kantoran? Tentu saja kawan-kawanlah yang bisa menjawab, memilih dan menentukan.

Banyak yang bertanya-tanya, seperti apakah cara berpikir pelajar yang benar? Tentunya banyak juga yang menjawab bahwa pelajar harus berpikir kreatif, inovatif, visioner dan masih banyak lagi. Akan tetapi, itu hanya dijadikan sebuah alibi semata karena pada realitasnya pelajar hari ini masih belum penuh menyuarakan aspirasinya. Artinya, masih jauh untuk mencapai titik action. Lantas, masih pantaskah menyandang label terpelajar?

Membumikan Nalar Pelajar

Di beberapa daerah yang masih puritan, ada suatu kisah yang sangat menarik. Seorang mahasiswa yang terus-terusan berkeluh kesah kepada dosennya karena materi yang disampaikan oleh dosen tersebut tidak memuaskan. Akhirnya sang dosen pun menanggapi dengan cukup bijak. Bahwa dosen memberikan materi di kelas hanya 48%, sedang untuk sisanya silakan mencari ilmu tambahan di luar kelas.

Hal yang hendak digaris bawahi adalah, mencari ilmu tidak hanya di bangku kelas. Seorang terpelajar harusnya tidak terpaku dengan buku-buku seperti LKS atau buku paket karena itulah yang membuat pikiran kita tersumbat. Coba bayangkan kalau buku yang kita baca itu bukan hanya buku LKS atau buku paket, tetapi buku yang filsafat atau politik. Barang tentu pikiran kita sudah lebih terbuka, atau bahkan sudah yang paling visioner diantara teman sebayanya. Sebab, semakin banyak buku yang kita konsumsi, semakin otak menjadi berisi.

Tatkala otak yang mulai penuh terisi, sudah saatnya kita berada di titik action untuk membumikan nalar seorang yang terpelajar, agar banyak yang terinspirasi sampai ke akar-akar. Maka pesan dari penulis adalah bergaulah dengan tataran elit publik, agar ilmu yang kita konsumsi senantiasa bisa terus bereformasi.

Editor: Halimah