Saat ini, jika ditanya siapa tokoh oposisi paling terkemuka di Indonesia, sulit untuk menampik satu nama, mari saya sebut, the one and only, Muhammad Rizieq Shihab. Demi meringkas dan menjaga marwah sanad namanya, kita panggil saja: Habib Rizieq. 

Sebagai oposisi, Habib Rizieq punya syarat yang lumayan lengkap, dia memiliki pandangan politik yang jelas, kekuatan massa yang riil, juga punya organisasi yang besar, rapi, dan benar-benar mengakar: Front Pembela Islam.

Di luar itu, Habib Rizieq merupakan tokoh yang membidangi lahirnya organisasi-organisasi sampiran, sebut saja Persatuan Alumni 212 (PA 212) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama).

Dalam pandangan ‘umat’ nya, Habib Rizieq adalah seorang yang kharismatik. Dia juga orator ulung. Reputasi organisatorisnya tak perlu diragukan lagi. Tidak mengherankan jika para ‘umat’ pendukungnya memuja Habib bak seorang juru selamat. Kita tahu, Habib pernah memimpin salah satu gerakan protes paling besar dalam sejarah tanah air.

Saat itu, Habib menghimpun koalisi perlawanan, yang sebagian besar terdiri dari kelas menengah urban konservatif. Dan yang sebagian lagi sedang belajar–untuk tidak menyebut pura-pura, menjadi konservatif secara keagamaan. 

Mereka turun ke jalan dalam jumlah massa yang banyak, menurut klaim angka itu mencapai 7 juta. Kita tahu, gerakan berjilid-jilid itu kemudian dinamakan Aksi Bela Islam.

Gerakan itu berhasil menumbangkan Ahok, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Gerakan itu juga berakibat pada pemenjaraan Ahok. Dan situasi jadi lain.

Habib Rizieq Shihab dan Kiprah FPI

Dalam kancah politik tanah air, Habib bukanlah pemain kemarin sore. Dari bawah, Habib sedari awal membentuk FPI sebagai basis gerakan dengan tiang yang populis: membela dan menegakkan ajaran Islam. Tentu berdasarkan apa yang mereka tafsir dan yakini.

Di lapangan, anggota-anggota FPI hampir selalu hadir ketika terjadi penggusuran, terutama di titik-titik Jakarta. Dan lalu, setiap kali ada bencana alam, FPI juga selalu jadi yang terdepan, bahkan, harus saya akui sering kali mendahului kehadiran negara.

Balik lagi soal Habib Rizieq.

Dia punya kemampuan luar biasa untuk menarik dukungan dari kelas menengah urban yang terkesan tidak peduli dengan kelas bawah. Habib berhasil memobilisasi kelas bawah itu, sehingga merasa dibela olehnya. Tanpa berteori, Habib melaksanakan apa yang disebut sebagai Psikologi Massa.

Sejauh ini, saya berani mengatakan, tidak banyak, atau bahkan hampir tidak ada politisi Indonesia yang punya kemampuan seperti itu.

Jika, dulu Jokowi berkampanye di kalangan bawah dengan style ‘blusukan’, Habib lebih daripada itu. Bukan saja berkampanye, ia juga mengorganisir. Apa bedanya? kampanye bisa berhenti setelah keuntungan didapatkan. Mengorganisir adalah kerja-kerja panjang.

Dan lagi, tak boleh dilupakan, yang dilakukan oleh Habib adalah konsep pemberdayaan. Dia memberdayakan orang-orang biasa yang dalam kehidupan sehari-hari sama sekali tidak punya akses kekuasaan, bahkan terhadap hidup mereka sendiri.

Lihat saja, kebanyakan latar belakang anggota-anggota FPI. Tapi perhatikanlah juga orang-orang yang bergabung dan menjadi barisan FPI. Mereka adalah orang-orang yang loyal, yang rela darah dan nyawa tumbas di jalan dakwah dalam menegakan syariat Islam.

Menunggu Aksi Habib Rizieq

Bagi saya hanya ada dua pilihan untuk tokoh sebesar dan seperti Habib Rizieq. Pertama, menyukainya dengan sangat. Kedua, membencinya dengan sangat. Tidak ada kata untuk menyisakan ruang di tengah. 

Habib pernah dipenjara beberapa kali. Tapi jeruji besi baginya adalah wujud dari sikap konsisten. Dan saat tengah berada di puncak popularitas, Habib Rizieq justru tersandung kasus hukum dan moril. Pertama, kasus penghinaan kepada Pancasila. Kedua, dan ini yang lebih berat adalah teks percakapan seks (sexting) yang diduga dilakukan olehnya kepada seorang perempuan.

Jelas, itu adalah pukulan telak, sebab Habib Rizieq merupakan seorang pemimpin ormas Islam yang dengan tegas menggaungkan gerakan anti-maksiat. Dan kasus sexting itu justru merusak reputasinya. Pada akhirnya, kasusnya yang itulah, yang membuat Habib Rizieq menjauh sebentar, mengasingkan diri ke negara Arab Saudi.

Bagi pendukungnya, ini adalah konspirasi atau akal bulus penguasa untuk menjegal Habib Rizieq. Tapi toh, semua telah terjadi. Dan kenyataannya, kasus sexting itu tak begitu berpengaruh terhadap citra ‘ke-habib-an’ nya.

Bukti konkritnya, adalah seperti yang kita lihat beberapa hari yang lalu. Ribuan pendukung Habib Rizieq tumpah ruah menyambut kepulangannya. Bahkan, penerbangan lain harus dialihkan dan tertunda beberapa jam demi penyambutan Habib Rizieq.

Hal itu mengingatkan saya pada perayaan atas kepulangan ‘pahlawan Iran’, Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Prancis pada 1 Februari 1979 silam, kita tahu jalan sejarah mencatat, Khomeini memimpin sebuah revolusi besar. 

Secara politik, sulit untuk mengabaikan tokoh sebesar Habib Rizieq. Tapi sampai dengan saat ini, para politisi kerap balik badan dan menelan liur saking sulitnya mengajaknya untuk berkoalisi.

Saya pikir, andai saja Habib Rizieq tak ‘dihalang-halangi’, ia pasti akan melenggang dan wajah politik Indonesia sekarang tak akan pernah sama. Saat ini, omong kosong dengan semua partai politik. Bagi saya, baju besar bernama oposisi sekarang ada pada diri Habib Rizieq. Dia pemimpinnya.

Dan kini, dalam waktu yang akan mendatang, kita menunggu apa yang akan dilakukan oleh Habib Rizieq. Dia bisa saja tancap gas dan langsung bersikap konformistis dengan penguasa, itu bukan hal sulit. Sekali bicara, ribuan atau bahkan jutaan, ‘umat’ akan bergerak di bawah komandonya.

Skenario lainnya ialah, mungkin Habib Rizieq akan bermanuver. Seperti apa bentuknya dan kapan, masih rahasia dan sementara kita hanya bisa menduga-duga. Tapi saya berpikir, ada clue penting di balik pesan yang ia sampaikan dalam orasi penjemputannya 10 November lalu.

Habib Rizieq baiknya senantiasa ingat bahwa ‘umat’ sedang menanti revolusi. Pertanyaannya, adakah yang lebih menggetarkan selain revolusi akhlak? Entahlah, saat ini, saya hanya ingin tidur. Sambil berharap di muka depan surat kabar nasional, tak ada lagi gambar Habib Rizieq dan terpacak keterangan

Penutup

Setelah menghabiskan satu gelas besar es susu, dan setengah gelas kopi, di antara bunyi-bunyi jangkrik dan tokek. Saya bengong beberapa saat dan lalu ‘wahyu’ tiba-tiba saja turun. Maka jadilah catatan kecil ini.

Ahlan wa sahlan, Habib Rizieq Shihab.

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad