Saya nggak pandai memasak. Mungkin memang nggak se-ekstrem Nia Ramadhani yang bakalan menjerit-jerit hanya karena menggoreng telur, tetapi intinya tetap sama. Saya nggak pandai memasak.

Sampai hari ini, masakan paling rumit—atau ringan—yang mungkin bisa saya buat hanyalah tumis kangkung, tempe goreng dan sebangsanya yang sebagian besar tentu saja menggunakan bumbu instan. Saya tentu saja belum tahu caranya memasak soto, gulai apalagi rawon. Saya masih gagal dalam hal membedakan bumbu-bumbu rempah Indonesia. Saya juga belum bisa menanak nasi menggunakan dandang—menanak nasi dengan cara tradisional. Oh, ayolah, padahal sudah ada rice cooker.

Tetapi di tulisan ini, saya hendak membela diri saya sendiri. Ada alasan mengapa hingga hari ini saya nggak pandai memasak. Saya akan menceritakannya pada kalian. Mungkin saja, diantara kalian ada yang punya pengalaman serupa.

Nggak Pernah Diajari dan Dapat Kesempatan Buat Praktik Memasak

Semuanya dimulai sejak saya masih kecil. Saya nggak pernah sekali pun diajari memasak. Ketika masih kecil, ibu dan keluarga besar saya beranggapan saya masih terlalu kecil untuk berkecimpung di dalam dunia dapur.

Ketika beranjak remaja, saya masih tetap nggak diajari caranya memasak. Paling banter, saya hanya bertugas untuk mencuci beras, giliran menanaknya adalah tugas ibu. Bahkan, terkadang saya sama sekali nggak diizinkan menginjak dapur hanya karena dianggap terlalu merepotkan dan cerewet.

Ya, wajar saja saya cerewet. Saat itu saya masih belum tahu yang mana ketumbar dan kemiri. Apa bedanya lengkuas dan jahe, dan pertanyaan dasar seputar rempah-rempah lainnya.

Kalau sejak kecil saja saya nggak pernah dikenalkan dengan dunia masak-memasak, lah bagaimana saya mau belajar tentang memasak apa lagi sampai suka masak?

Setelah sering diusir untuk keluar dari dapur. Saya jadi malas menginjakkan kaki di sana kecuali hanya untuk makan. Bahkan, dalam pembagian tugas harian di rumah, saya seringnya hanya kebagian mencuci piring, mencuci beras dan menyapu lantai.

Lalu, dari mana saya akan belajar memasak? Di masa itu tentu saja saya belum mengenal Youtube dan kawan-kawannya. Karena itu, saya membiarkan diri saya buta akan hal-hal berbau dapur. Toh kelihatannya Ibu saya juga nggak ada niatan sedikit pun untuk mengajak saya berkolaborasi dalam membuat masakan.

Hasil Masakan Selalu Diremehkan, Bahkan Dianggap Nggak Layak Makan

Saya baru mendapatkan kesempatan untuk benar-benar praktik memasak ketika saya sudah menjadi mahasiswa dan memutuskan untuk tinggal di kos. Di dapur kos, saya bebas berekspresi dan berkreasi.

Saya masih ingat dengan jelas betapa kagoknya ketika pertama kali menggunakan rice cooker. Yah, laiknya anak manja yang sama sekali belum pernah berurusan dengan hal-hal semacam itu—padahal ya memang belum pernah, hehe.

Saat sudah menjadi mahasiswa tersebutlah, saya mulai belajar memasak untuk bertahan hidup—dan menghemat biaya hidup di kampus. Awalnya dimulai dari belajar memasak yang sederhana dan hanya memasak masakan kesukaan saya saja. Lalu mulailah saya belajar memasak dari Youtube dan resep-resep yang bertebaran di media sosial.

Namun sayangnya, saya sama sekali nggak pernah mendapatkan support system dari keluarga besar. Saat pulang ke rumah dan berniat untuk mempraktikkan kemampuan memasak saya di hadapan mereka, mereka justru menolak hasil masakan saya.

Nggak tanggung-tanggung sih, alasannya justru membuat saya nggak lagi punya niatan memasak untuk mereka. Beberapa komentarnya seperti:

Itu bisa dimakan?

Masakannya nggak bikin sakit perut, kan?

Masak yang biasa saja. Pakai rempah-rempah biasa, jangan pakai bumbu instan.

Sejak itu saya berhenti menyajikan hasil masakan saya untuk mereka dan memilih untuk memakannya sendiri.

Nggak Suka Memasak

Meski sering kali dikomentari oleh budhe-budhe juga keluarga besar saya sebagai anak perempuan yang nggak bisa masak, saya memilih cuek saja. Bodo amat. Saya tahu, saya bisa memasak. Hanya saja, saya nggak pandai memasak—apalagi memasak makanan yang disukai keluarga besar saya.

Nah, setelah semua yang sudah terjadi dan berhasil saya lalui hingga hari ini, saya mulai menarik sebuah kesimpulan sederhana. Saya nggak suka memasak!

Tapi ya sudah, nggak apa-apa. Saya akan bertahan hidup dengan ini saja, hehe.