‘Instagram envy’, apa itu? Medsos itu seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, medsos punya manfaat sebagai media komunikasi dan silaturahmi, platform untuk mendapat informasi dan menyuarakan aspirasi, tapi di sisi lain medsos juga bisa bersifat destruktif, terutama bagi kesehatan mental seseorang. 

Tak perlulah jauh-jauh menengok kehidupan para seleb, influencer atau public figure terkenal. Seseorang yang sering terpapar postingan teman-temannya saat wisuda, kerja di perusahaan start-up, traveling ke berbagai negara atau makan malam romantis bersama pasangan, sedangkan hidupnya masih gitu-gitu aja, bisa merasa insecure. Ditambah dengan adanya hustle culture, tuntutan untuk sukses yang didefinisikan dengan harus punya ini dan itu atau harus ada pencapaian A, B, C dan sebagainya, membuat mereka makin merasa dirinya lebih buruk dan tidak berguna. Seolah-olah kalau hidupnya belum seperti orang-orang yang ia lihat di medsos, tandanya ia adalah manusia gagal. 

Ibarat kata pepatah, “rumput tetangga selalu lebih hijau”. Meski seseorang punya pekerjaan yang mapan, penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup, pasangan yang cantik atau tampan, tetap saja ada perasaan bahwa kehidupan orang lain tampak lebih asyik. 

Kebiasaan membanding-bandingkan diri dengan orang lain memang sudah ada sejak dulu. Bedanya adalah, dulu hal seperti ini biasa terjadi dengan sanak-saudara, tetangga, rekan kerja. teman-teman lama—pokoknya dengan orang-orang yang kita kenal di dunia nyata—baik saat arisan, kondangan, reunian atau acara kumpul-kumpul keluarga besar. 

Katakanlah di jalan kita menjumpai orang yang tidak dikenal yang penampilannya tampak “wow”, kita mungkin bakal tetap membanding-bandingkan dengan diri sendiri dan merasa insecure. Namun, perasaan itu hanya bertahan sebentar. Besok-besok paling kita sudah lupa. 

Sekarang, hal-hal itu juga hadir di dunia maya dan hampir setiap hari kita lihat. Akhirnya, kita jadi suka membandingkan penampilan, kekayaan dan pencapaian dengan orang-orang di dunia maya yang justru tidak kita kenal. Instagram—medsos berbagi foto paling populer–seolah menjadi ‘trigger’ yang ampuh dalam menumbuhkan perasaan-perasaan tidak bahagia, rendah diri dan selalu merasa kurang serta lebih buruk dari orang lain. Nah, fenomena inilah yang oleh psikolog disebut sebagai ‘instagram envy’

Padahal apa yang orang-orang itu tampilkan, hanyalah sebagian kecil dari kehidupannya secara keseluruhan. Kita mungkin iri atau insecure dengan mereka yang kerjaannya jalan-jalan terus. Namun, siapa tahu kan di balik itu mereka susah payah mengumpulkan uang sampai cari kerja sampingan dan mengorbankan akhir pekannya untuk bekerja? Kita mungkin iri atau insecure dengan mereka yang tiap bulan bisa gonta-ganti smartphone keluaran terbaru. Namun, mungkinkah kita tahu kalau orang itu membelinya dengan berutang dan belum lunas? Kita mungkin iri atau insecure dengan mereka yang dari ujung kepala sampai kaki selalu pakai barang branded. Namun, tahukah kita kalau mereka melakukannya karena tekanan sosial agar bisa diterima di circle pergaulan? Jadi intinya, apa yang mereka tampilkan di instagram adalah yang baik-baik saja, terlepas dari apapun niat dan tujuannya. 

Lalu, bagaimana caranya agar kita tidak terkena fenomena ’instagram envy’? 

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, pahamilah bahwa yang kamu lihat di instagram itu hanya sebagian kecil dari kehidupannya secara keseluruhan. Sehingga Anda tidak terkena ’instagram envy’. Kalau di foto dan video hidupnya tampak bahagia, belum tentu lho di kehidupan nyata ia sebahagia kelihatannya. Ingat, kamu belum tentu tahu cerita kelam yang tersembunyi di baliknya. 

Selanjutnya adalah batasi dirimu dalam bermedsos. Bukan hanya masalah waktunya, tapi juga akun-akun yang kamu follow dan konten apa saja yang ingin kamu konsumsi. Kalau kamu merasa jengah dengan konten-konten yang isinya flexing melulu, misalnya, ya jangan ditonton. Kalau kamu merasa akun-akun yang kamu follow ada yang unfaedah atau cenderung toxic, meski itu temanmu, mending unfollow saja demi kewarasan pikiran dan ketenangan hatimu. 

Saya tidak akan menyuruh kamu untuk melakukan langkah ekstrem semacam uninstall semua medsos dan tidak bermedsos sama sekali. Namun, kalau kamu mau melakukannya, ya tidak masalah juga. 

Kita tidak punya kuasa untuk mengontrol apa yang orang lain ingin bagikan di akun medsosnya. Mereka juga tidak bisa mengontrol persepsi orang lain yang melihat postingan tersebut. Pengendalian diri adalah tanggung jawab masing-masing. Jika kita ada di posisi sebagai yang melihat, kitalah yang harus bisa mengontrol pikiran, hati dan jari untuk tidak berprasangka dan berkomentar negatif.

Editor: Ciqa

Gambar: pexels