Telur adalah salah satu dari sembilan bahan pokok dengan harga murah meriah dengan gizi yang mewah, semua lapisan masyarakat mulai dari orang terlanjur kaya hingga rakyat yang hidup apa adanya sekalipun tetap mengkonsumsi telur sebagai salah satu menu santapan kala perut mulai keroncongan.
Kandungan super lengkap seperti protein, kalori, vitamin A, B2, B5, B12, D, E, lemak, zat besi, fosfor, selenium dan yodium lengkap menjadikan kesehatan hakiki bagi rakyat yang berkantong cekak. Gak perlu makan makanan yang mahal hanya untuk sehat, tinggal goreng telur ceplok atau telur rebus, so simpel kan?

Daging terutama sapi yang merupakan ‘puncak makanan’ tertinggi dalam sembako memang memiliki cita rasa yang khas dan lezat disertai dengan jenis dan harganya yang bervariasi, mulai dari daging sapi lokal, daging sapi impor seperti kobe, fugu apalagi wagyu rasanya akan sulit dibeli ditengah rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, mendingan cari alternatif pangan pengganti daging yang sehat dengan harga yang gak bikin sakit hati. Ya, telur bisa menjadi solusi.

Namun, marilah sejenak kita bayangkan seandainya harga telur melambung tinggi, bagaimana nasib para anak kos dan mahasiswa apalagi saat tanggal tua, bagaimana dengan menu lauk pauk masyarakat kecil yang tersaji dipiringnya, apa makanan yang diberikan pada balita yang sedang dalam masa pertumbuhan? Kalaulah telur saja tak bisa lagi dibeli, apalagi sembako yang bisa dibeli oleh rakyat? Mie instan? Ntahlah.

Rakyat Babak Belur, Pernyataan Pejabat Ngawur

Rakyat kian mengelus dada menyikapi harga kebutuhan pokok terutama telur yang semakin ugal-ugalan, Menteri Perdagangan yang ditugaskan mengurus harga-harga kebutuhan pokok dicecar para pewarta yang hendak mencari tau apa penyebab utama bengkaknya harga telur, beliau menyebut biang keroknya akibat kurangnya suplai dan naiknya permintaan telur ayam serta tingginya harga bahan baku pakan ayam. 

Usut punya usut ternyata salah seorang pedagang di Pasar Keramat Jati, Jakarta Timur membeberkan tingginya harga telur akibat diborong untuk keperluan bansos, oalah pantesan aja telur mahal, yang buat mahal ternyata.

Ditambah lagi dengan pernyataan para pejabat sekarang yang menggelitik hati nurani bahkan terkesan rada ngawur, coba aja kita perhatikan, ada pejabat yang menganalogikan adzan dengan gonggongan anjing, ada yang setuju hutan ditebang demi pembangunan, ada yang minta rakyatnya menanam cabai sendiri, beras mahal rakyat diminta diet, ada yang bagi-bagi minyak goreng sambil mengkampanyekan putrinya, dan yang terbaru malah tak perlu meributkan harga telur, tak seberapa itu katanya. Pernyataan ini jelas membuat gaduh ditengah kondisi ekonomi rakyat yang babak belur.

Di sisi lain, harga minyak goreng curah memang menunjukkan tren penurunan, Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag) memantau harga minyak goreng curah per 26 Agustus 2022 adalah Rp13.900/liter, Rp17.700/liter untuk kemasan sederhana dan Rp22.100/liter untuk kemasan premium. Kita patut apresiasi usaha pejabat negeri ini, kendati saya rasa euforia ini tak akan berlangsung lama. Kenapa? Karena sebentar lagi BBM bersubsidi kemungkinan juga ikut naik, apesnya hidup di negeri yang katanya tanahnya adalah tanah surga.

Penurunan Stunting Hanyalah Harapan Kabur

Pada tanggal 29 Juni 2022 kemarin Pemerintah memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang ke-29 di Medan, Sumatera Utara dengan mengusung tema ‘Ayo Cegah Stunting Agar Keluarga Bebas Stunting’. Sungguh menurut saya tema yang diusung normatif dan biasa-biasa aja, ya memang dimana-mana dengan mencegah pasti akan terhindar dari bahaya. Tapi maaf sebelumnya, ini bukan menghina ya…

Pertanyaan saya bagaimana mau mencegah stunting kalau sembako mahal? Pemerintah mengajak rakyatnya mencegah stunting tapi disisi lain harga telur aja udah bikin wong cilik pusing.

Stunting sendiri adalah kondisi gagalnya pertumbuhan pada balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga  postur tubuh anak terlalu pendek untuk usianya. Dikutip dari stunting.go.id, tahun 2022 ini pemerintah menargetkan minimal 3% untuk penurunan prevalensi stunting dan harapan 14% pada tahun 2024 mendatang, berarti dalam 2,5 tahun kedepan pemerintah harus bekerja keras menurunkan angka prevalensi stunting sekitar 10% lebih.
Tantangan yang tentunya tidak mudah bahkan sulit dicapai melihat kondisi harga kebutuhan pokok sekarang. Bukannya saya pesimis, tapi jangan harap stunting dan gizi buruk di bumi pertiwi ini berkurang sementara harga kebutuhan pokok saja pemerintah tertatih-tatih untuk mengurusnya.

Saran saya sebagai rakyat jelata kepada pemerintah adalah pertama menyediakan harga sembako murah dengan kualitas baik untuk seluruh masyarakat, kedua menggratiskan iuran BPJS kelas III bagi seluruh masyarakat miskin, memang cuma 35 ribu tapi bagaimana jika dalam satu keluarga ada 5-7 orang? dan yang ketiga ganti Menteri Perdagangan yang gak becus ngurus sembako dengan Menteri yang lebih profesional dan paham masalah pangan dan mafia perdagangan di negeri ini, insyaallah target penurunan stunting 14% di 2024 bisa tercapai, lah ini disuruh ngurus sembako kok malah kampanye, kepriben si Son?

Editor: Ciqa

Gambar: Google