Ada banyak malam yang kuhabiskan untuk menangisi bagaimana masa lalu sepertinya terlalu dewasa untuk aku yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, hal ini tidak pernah kupermasalahkan, namun seiring berjalannya waktu, hal ini menjadi perkara yang membuat batinku cukup terluka. Aku sering menangis hanya karena masa lalu yang sama sekali tak bisa diulang. Hal ini aku simpan selama kurang lebih 5 tahun dengan berbagai cara yang telah aku coba untuk berdamai dengannya.

Ada luka batin dalam diriku yang tiba-tiba mendesak keluar, tentang bagaimana Mama yang lebih sering memprioritaskan pekerjaannya daripada aku, anaknya. Saat itu, jarak antara rumah dengan sekolah sekitar 10 kilometer yang ditempuh selama 30 menit dengan menaiki 2x angkutan umum karena tidak ada angkutan umum dari rumah yang langsung menuju area sekolah. Saat memulainya aku baru duduk di bangku kelas 3 SD yang setelah kupikir saat ini, “Kok Mama dan Ayah berani melepasku sendiri berangkat ke sekolah?” Tak ada pikiran buruk saat itu. Aku lebih sering menikmati dan menerima bahwa kedua orangtua bekerja sehingga tidak ada waktu untuk sekedar mengantarku ke sekolah.

Namun, sebagai anak kecil, tentu saja terkadang aku iri dengan teman-teman yang diantar dan dijemput sekolah oleh orangtuanya. Hingga beberapa kali aku tantrum, merengek untuk diantarkan menuju sekolah yang lebih sering ditolak oleh Mamaku. Mama akan lebih memilih meladeni rengekan dan tangisanku daripada mengalah untuk mengantarkanku yang mungkin akan lebih bisa menghemat waktu atau Mama akan lebih memilih untuk memberikan uang lebih daripada mengantarkanku. Demi merasakan manisnya duduk di kursi penumpang mobil Mama, aku akan mengiyakan jika Mama hanya mengantarkanku seperempat perjalanan, setidaknya Mama mau meluangkan sedikit waktu untukku. Itu adalah sebuah kenikmatan bagiku.

Awalnya, aku tidak pernah berniat untuk mengungkapkan semua ini kepada Mama karena aku takut menyakiti perasaannya. Namun, tangisan di malam hari dengan memori-memori masa lalu yang menjadi luka batin untukku tak pernah berhenti datang setidaknya sekali dalam sebulan membuat malamku menjadi muram, hatiku merasakan sedih mendalam, dan tidurku tak pernah tentram. Hal ini cukup mengganggu. 

Setelah mencari jawaban kesana kemari, bercerita kepada teman hingga psikologi akhirnya aku memutuskan untuk mengungkapkan luka batin ini kepada Mama. Saat itu, aku sedang menangis karena lagi-lagi mengingat masa lalu itu, rasanya seperti memutar kaset rusak, dengan sisa-sisa tenaga dan keberanian yang kumiliki aku menulis semua keluh kesahku di sebuah note yang kemudian aku salin dan kukirimkan kepada Mama. 

Ini adalah sebuah dilema besar bagiku, karena selama ini aku tidak pernah mengungkapkan perasaan terdalamku kepada Mama. Aku terbiasa jauh dari kedua orang tuaku karena setelah lulus sekolah dasar mereka langsung memasukkanku ke sebuah pondok pesantren yang menjadi saksi tumbuh kembangku. Mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya sangat jarang kulakukan kepada mereka, aku lebih sering menyimpannya dalam-dalam atau menceritakannya kepada teman.

Pada tanggal cantik dimana orang-orang sibuk berkoar tentang tanggal yang tepat untuk jadian, aku melakukan pengakuan, mengungkapkan luka batin masa lalu kepada Mama. Mencoba mengeratkan ikatan antara ibu dan anak yang terlihat dekat namun berjarak. Setidaknya, aku merasa lebih lega dan sedikit was-was, pasalnya Mama belum membalas pesanku. Mungkin, ia tertidur. Biarlah, setidaknya aku berhasil mengungkapkan apa yang menghantuiku.

Foto: Pexels

Editor: Saa