Menulis, mungkin bukan hal yang asing lagi bagi kita semua.  Banyak dari kita yang menjadikan kegiatan tulis-menulis selayaknya sarapan.  Kegiatan yang harus dipenuhi dan tak boleh ditinggalkan.  Karena selayaknya sarapan, kalau ditinggalkan, hanya akan memunculkan masalah lain yang tak kalah merepotkan. 

Begitu pun saya sendiri.  Menulis bagi saya bukan hanya sekedar passion.  Namun lebih dari itu, menulis adalah cara saya berkomunikasi dengan dunia, mengkritik banyak hal yang tak bisa saya sampaikan lewat lisan, mengabadikan kenangan bersama orang-orang tersayang, hingga cara self-healing paling ampuh. 

Sayangnya, tak selamanya menulis mendatangkan keberuntungan.  Karena dalam beberapa kesempatan menulis justru membuat saya kerepotan.

 Saya tahu betul menulis itu bikin hidup abadi.  Seratus persen percaya dengan nasehat  Pramoedya Ananta Toer tentang kemuliaan menulis.

 “Kau tahu betapa kusayang kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh-jauh di kemudian hari,“. 

Mengingat begitu banyak orang yang telah mati, namun namanya masih dikenang hingga kini.  Yaps! Sudah pasti itu terjadi karena ia berkarya.  Karena ia menulis.  Mulai dari Aristoteles, Imam Bukhari, bahkan Pramoedya Ananta Toer sendiri. 

Namun, dalam kasus saya, menulis justru membuat saya susah move on dari sang pujaan hati.  Saya sekarang sudah duduk di bangku kuliah, namun hati saya masih saja tertambat pada cowok yang saya temui ketika duduk di bangku SMP.  Ketika teman-teman saya yang lain sudah menemukan tambatan hati baru, di lingkungan baru, hati saya masih saja berpihak pada dia.

Awalnya saya tak mengerti mengapa bisa begini.  Mengapa saya susah sekali untuk berpaling ke lain hati.  Hingga akhirnya di satu titik saya sadar, bahwa salah satu alasan dari sekian banyak alasan  mengapa saya susah berpaling ke lain hati adalah karena saya senang sekali menuliskan tentangnya. 

Berpapasan dengannya di lorong kelas, saya tulis.  Melihatnya mengobrol dengan teman-temannya, saya tulis.  Ditambah, kami satu sekolah selama enam tahun lamanya, dari SMP sampai SMA.  Maka, makin menjadi-jadilah saya dalam menuliskan tentangnya.

Ketika duduk di bangku SMA, dia menjabat sebagai ketua OSIS.  Bukan hal yang aneh lagi, jika hampir semua sambutannya ketika hendak membuka suatu kegiatan OSIS saya tuliskan.  Caranya memimpin rapat, bicara, bahkan berdebat dengan kameradnya, saya tuliskan. 

Meski cinta saya terkesan bertepuk tangan, karena dia hanya sekedar tahu saya sebagai teman seangkatannya dan tak pernah lebih, namun mengaguminya diam-diam membuat saya memberi dampak yang cukup besar bagi saya.  Saya makin aktif dalam kegiatan tulis-menulis. 

Dulu, sebelum jatuh hati padanya, saya menulis kisaran seminggu 1-3 kali.  Namun, semenjak jatuh hati padanya, saya bisa menulis tiap hari.  Mengingat saya sudah punya bahan tulisan yang saya bahagia setiap kali menceritakan tentangnya yaitu dia.  Hahaha.

Tak berhenti sampai di situ, tulisan saya kini bukan hanya tentang si doi saja, namun berkembang. Saya mulai menuliskan opini sederhana berkenaan dengan pendidikan di Indonesia, review film, hingga membuat jurnal keseharian.  Senang saja rasanya ketika perasaan cinta monyet anak remaja membawa saya sampai sejauh ini. 

Nah, sayangnya seperti yang saya katakan tadi, saya bahagia karena menulis.  Hanya saja, saya gagal move on karena menulis juga.  Bayangkan andai saja saya tak terlalu sering menuliskan tentangnya, mungkin saya akan lebih mudah move on dari bayang-bayang si dia.  Mengingat semua kenangan tentangnya-meski sudah beda tempat tinggal dan sekolah-tersimpan abadi dalam tulisan saya.  Gimana mau mudah berpindah hati kalau sudah begini?!!

 Yah, tak dapat dinyanya, menulis itu bisa bikin hidup abadi, namun juga bikin susah move on dari sang pujaan hati.  Tapi, gak apa-apa, selagi dapat loyalti, lanjut aja lagi!

Editor: Ciqa

Gambar: Pexels