Menjelang ujian termin kedua ini, bukannya mempersiapkan dengan banyak membaca muqoror (diktat kuliah), saya justru lebih banyak membaca buku-buku bacaan biasa. Pilihan ini sekedar untuk meneruskan kebiasaan membaca saya sehari-hari. Selain, bila saya memutuskan untuk mem-pending kebiasaan ini, ditakutkan sehabis ujian hal tersebut dapat menghilang. 

Dan berhubung saya kembali penat menyibak halaman per halaman muqoror ujian, sejenak saya mengistirahatkan otak ini dengan menulis enteng-entengan. Tulisan ini berangkat dari pembacaan saya terhadap buku, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die) yang ditulis oleh dua sarjana Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat.

Pagar Demokrasi

Poin utama yang ingin disampaikan dalam buku tersebut bagaimana sistem demokrasi suatu negara dapat runtuh dan hancur. Dengan menghadirkan kasus-kasus konkret yang menimpa banyak negara di seluruh dunia, penulis mencoba menganalisa bentuk-bentuk penyelewengan kekuasaan, trik-trik kotor para politikus. Serta pertengkaran antar pejabat eksekutif-legislatif-yudikatif yang mengitari dinamika dunia politik praktis. Berkacamata dari kasus-kasus tersebut, penulis mengemukakan solusi berpijak pada pengalaman perpolitikan negara Paman Sam (Amerika Serikat).

Dalam hal ini, salah satu tesis yang diajukan penulis saya dapatkan dalam bab kelima, Pagar Demokrasi. Karena sedari awal penulis berpatokan pada kondisi perpolitikan di Amerika, tak ayal bila ia mengunggulkan ketentuan konstitusional negara tersebut. Membuka pembahasan, menurut survei pada tahun 1999, 85 persen warga Amerika meyakini ketentuan kontitusi negaranya yang membuat Amerika masih bisa eksis (2021:79). Kendati demikian, sebagai penulis profesional, tak serta merta membuat Steven dan Daniel kehilangan obyektifitas. Hal ini terlihat bagaimana mereka memandang ketentuan konstitusional tidak cukup untuk menjaga demokrasi dapat berjalan baik. Mereka menyitir peristiwa tragis yang menimpa Jerman, dimana konsepsi Rechstsstaat (negara hukum) yang telah dirancang baik melalui Konstitusi Weimar 1991 harus kandas tatkala sosok Hitler mengambil kekuasaan (2021:79-80).

Maka oleh karena itu, mereka berdua yakin bahwa yang dapat menjaga demokrasi Amerika tidak sekedar konstitusinya belaka. Melainkan ada faktor-faktor lain yang menunjang. Diantaranya yang paling vital adalah norma-norma informal. Selain kekayaan besar, kelas masyarakat menengah, dan masyarakat madani yang dimiliki Amerika Serikat. (2021:82).

Toleransi dan Menahan Diri

Dengan menganalogikan proses demokrasi layaknya bermain bola basket jalanan, kepatuhan terhadap aturan-aturan yang baku -sekalipun tidak tertulis dan dijaga oleh perangkat sistematis- tetap mutlak untuk diindahkan. Sebaliknya, apabila  aturan-aturan tersebut disepelekan, permainan akan berakhir pada kekacauan. (2021: Ibid).

Bagaimana dengan demokrasi ? sudah jelas ia memiliki seperangkat aturan yang jelas. Meskipun begitu, sebagaimana di awal hal tersebut tidak cukup. Adanya norma yang terpatri pada benak sebuah masyarakat dapat memandu jalannya proses demokrasi yang telah digariskan secara formal melalui ketentuan-ketentuannya. Tanpanya, peraturan-peraturan tersurat demokrasi hanya menjadi bak dinding kosong nan bisu. Poin penting yang harus diperhatikan tak lain kepemilikan norma dan kepatuhan normatif. Akhirnya, ada dua norma mendasar yang wajib ditaati oleh dalam proses demokrasi. Yaitu toleransi dan sifat menahan diri secara kelembagaan. (2021:83).

Pengejewantahan toleransi dapat dipahami bahwa masing-masing pelaku demokrasi perlu menghormati satu sama lain. Pemahaman ini meskipun terdengar sepele, namun banyak dilupakan. Karena tak sedikit dari pemerintahan suatu negara yang barusan terbentuk, digulingkan akibat desakan tim oposisi yang kuat. Sebaliknya, dari sudut pandang petahana, keberadaan oposisi dapat dimaknai subversif dan ancaman negara. Akibatnya, kriminalitas tokoh-tokoh yang bersebelahan dapat berakhir di bui sekaligus menyandang status ‘tahanan politik’. Oleh karenanya, mendudukan lawan politik secara dewasa dan sportif dengan menganggapnya sebagai warga negara pada umumnya serta dijaga akan hak-haknya penting untuk diperhatikan. (2021:84).

Sikap Menahan Diri

Norma kedua, sikap menahan diri secara kelembagaan (institutional forbearance) berarti “pengendalian diri yang sabar, legawa, dan toleran” atau “tindakan tidak menggunakan suatu hak legal.” (2021:87). Pengaplikasian norma ini amat krusial dalam keberlangsungan demokrasi. Pasalnya, keriskanan sistem demokrasi suatu negara dapat diukur dari penggunaan hak (wewenang) seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, apakah masih dalam koridor batas atau melampuinya. Atau juga yang masih dalam batasan, namun mencederai prinsip konstitusionalnya.

Urgensi norma ini dapat ditelusuri dalam perjalanan sejarah umat manusia. Di mana dahulu, seorang raja yang memimpin sebuah negara kebanyakan menjalankan kekuasaanya bak titisan Tuhan. Bertindak di luar batasaan dengan tanpa kebijaksanaan, hingga akhirnya stabilitas negaranya yang justru dikorbankan. (2021:87-88).

Dalam hal ini, penulis kembali mengingatkan analogi di awal tadi. Mengaplikasikan demokrasi sebagaimana bermain bola basket jalanan, sama-sama untuk saling menjaga diri dari batasan-batasan yang telah ditetapkan. Bahkan hal semacam ini telah menjadi keniscayan jika mau ‘permainan’ demokrasi terus berjalan. Memainkannya secara brutal dan urakan hanya akan membuat lawan ogah bermain kedepan. (2021:88).

Merawat Demokrasi dan Toleransi

Hemat penulis, dua norma ini saling simultan dibutuhkan. Artinya, apabila masing-masing pelaku demokrasi saling memahami satu sama lain; menghormati dan menjaga hak-haknya. Maka takan ada sifat isyraf wewenang bila salah satunya terpilih menduduki jabatan. Tidak akan ada persekusi, kriminalitas, bahkan kudeta sekalipun. Namun, jika rasa toleran tidak menyertai masing-masing pelaku, besar kemungkinan persaingan akan berlanjut secara tidak sportif. Barangkali, politik machiavellian sangat relevan pada kondisi semacam ini. (2021:92-93).

Di sisi lain, polarisasi dapat menyumbang kehancuran norma-norma. Dalam taraf tertentu, sebenarnya polarisasi dibutuhkan dalam menyuburkan budaya berdemokrasi. Akan tetapi, tanpa toleransi yang memadai polarisasi akan berakhir kepada disintergrasi. Struktur masyarakat  saling berkelompok dan berfraksi. Apalagi pengelompokan tersebut diperparah dengan perbendaan yang kentara; sosial dan rasial. Sudah mesti, aliansi yang tidak sehat tidak akan dihindarkan. Suasana yang tak menentu akan dimanfaatkan masing-masing pihak yang berkepentingan untuk  menghalalkan segala cara dalam menggasak dan membidas lawan-lawannya. (2021:96).

Maka, toleransi dan menahan diri hanyalah segelintir dari norma-norma lain yang perlu ditanamkan sedari sedini mungkin. Sebab, masa depan demokrasi akan sangat bergantung pada pengaplikasiannya. Sehingga bisa dipastikan, kualitas demokrasi suatu negara dapat dilihat dari kualitas norma-norma yang ada pada masyarakatnya.

Tabik 

Editor : Faiz

Gambar : Google