Mengulik ulang soal generasi milenial adalah hal yang bagi saya benar-benar tidak baru sama sekali. Pembahasan tentang generasi milenial sudah menjamur di berbagai lapisan, dari akademisi sampai mahasiswa akhir yang mangkrak di tugas skripsi. Milenial mungkin juga menarik apalagi dibumbui pernyataan; pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan.

Perspektif semacam itu yang membuat tema khusus milenial ini banyak dibahas. Di seminar-seminar, umpamanya, sudah tidak terhitung lema ini berapa kali menjadi pembahasan. Namun, saya di sini tidak akan memilih posisi yang sama seperti para pakar itu. Saya berusaha meninjau generasi milenial dari kacamata yang berbeda—meski tidak otentik, paling tidak ini baru, menurut saya.

Asal-usul milenial

Saya mulai dari asumsi dasar: tumbuhnya generasi milenial bertepatan dengan arus teknologi yang berkembang semakin pesat. Media sosial dan media-media lain yang sering digunakan sebagai medium untuk berekspresi juga tumbuh subur. Siapapun hari ini bebas berekspresi sesuai kehendaknya. Dari kebebasan itu pula sering terjadi gesekan-gesekan yang—bagi sebagian orang wajib dihindari. Persoalan yang saya sebut di atas sangat alamiah di zaman yang serba terbuka ini. Di mana waktu dilipat, konsep jarak sudah tidak berguna dan usang. Kita bisa menjangkau yang jauh dan juga sebaliknya.

Dari tesis dasar demikian, saya hendak memosisikan milenial di tempat yang(lagi-lagi menurut pikiran saya) meski spekulatif sangat ideal. Bagaimana generasi yang sudah matang itu bisa tumbuh mekar di tengah-tengah pusaran arus informasi berwajah semu. Hal ini akan saya kaitkan dengan kondisi negara atau kebijakan-kebijakan para pemangku di negara ini. Tesis demikian berangkat dari kondisi kita yang sedang mengalami banyak krisis dari segala bidang. Hampir dua tahun terseok-seok melawan pandemi dan hal-hal problematik lainnya. Untuk itu memang penting suara dari milenial, meski tidak lantang, sebagai sumbangsi pemikiran paling minimum.

Di pertengahan tahun, ketika mural-mural di tembok pinggir jalan dihapus, banyak dari kita yang mungkin kebingungan. Oleh sebab itu, maka di sini pentingnya bermain di media, baik media sosial maupun portal berita. Tujuannya tidak lain adalah untuk selalu terlibat dan ikut aktif mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Upaya yang paling urgen di sini adalah memaksimalkan segala kemampuan dan kesempatan yang terbuka lebar. Bukannya di era media ini semua bebas berekspresi menyampaikan aspirasi?

Di titik itulah saya hendak meletakkan generasi milenial. Ia tidak hanya sebuah entitas yang diagungkan dan diklaim sebagai ‘pemimpin masa depan’ namun juga punya posisi sentral sebelum menuju masa depan. Negara pendaku dan penganut sistem demokrasi ini secara ideal akan sangat memungkinkan. Artinya, milenial bebas bersuara, bebas kritis di media. Persoalan nanti dihapus sebagaimana kasus mural atau tersandung kartu joker bernama UU ITE merupakan ihwal lain. Intinya, secara ideal dan pragmatis apa yang saya sampaikan di atas kemungkinan besar berguna.

Menuju Media Alternatif

Ketika sudah tercipta iklim kritis yang benar-benar kritis, di titik itu kita akan menemukan sebuah media alternatif. Media dalam arti alternatif ini tidak hanya sebuah media yang ada dan eksis. Media yang saya inginkan adalah media yang ‘hiper-eksis’ dalam istilah saya, melampaui media yang sekadar ada. Dari itu, hal yang paling memikat untuk konteks saat ini adalah kritis terhadap segala hal, utamanya berkaitan dengan kebijakan negara.

Itu salah satu hal yang ideal dan hal seksi yang patut dilirik. Sebab, sekali lagi saya tegaskan, negara ini pendaku dan penganut demokrasi kuat. Secara otomatis, negara akan menyediakan ruang yang sangat terbuka bagi suara-suara kritis dari agen milenial. Suara kritis yang benar-benar dibutuhkan, sebagai tambahan nutrisi bagi demokrasi. Harus diingat, kritik dalam negara demokrasi adalah nutrisi. Akhirnya, kita akan benar-benar menciptakan sebuah iklim media yang kritis dan altenatif. Menolak untuk menjadi milenial yang berkecimpung di dunia yang sama seperti pada umumnya.

Sudah seyogianya milenial meletakkan fondasi diferensial dengan kebanyakan orang. Kritis adalah salah satu bagian dari itu, maka ia harus dibangun pelan-pelan. Saya kira itu sangat baik, utamanya dalam menghadapi pembungkaman kritik secara cara halus. Posisi seperti ini yang sungguh saya inginkan dan dambakan, di mana milenial menjelma oposisi yang cerewet. Ia tidak hanya manut dan kehilangan daya kritis di tengah kebijakan yang menindas banyak lapisan masyarakat.

Editor: Nawa

Gambar: google.com