Di media sosial kerap sekali dijumpai konten tentang curhatan seorang maba yang mengeluh karena frustasi akan beratnya dunia perkuliahan. Tak sedikit dari mereka yang mengeluh tentang tingkat stres yang tengah mereka hadapi selama perkuliahan online ini.
Terlalu banyak tugas, bikin overthinking, lelah, hingga sampai ada yang depresi dan meminta pertolongan psikolog atau psikiater. Lalu setelah kita membuka kolom komentar akan banyak sekali petuah-petuah bijak dari para kakak-kakak suhu semester akhir. Kalimat yang sering sekali muncul itu kurang lebih kayak begini.
“Mahasiswa semester enam tertawa melihat konten ini!”
“Baru semester dua, belum semester 6, Dek!”
“Semester awal mah belum ada apa-apanya, apa kabar mahasiswa semester 8?”
“Yaelah, belum juga ngerasain semester 3456!”
Kalimat seperti itu jika digamblangkan kira-kira bunyinya kayak gini, “Baru mahasiswa baru, bebanmu itu belum seberapa, nggak boleh mengeluh, nggak boleh stres, apalagi lebay. Yang boleh mengeluh dan frustasi itu hanya mahasiswa semester akhir yang tugasnya begitu banyak seperti isi di kerangjang Shopee.”
Nggak salah juga sih apa yang diomongin sama mahasiswa semester akhir ini, saya nggak memungkiri kalau tugas, beban, serta materi yang diajarkan jauh lebih kompleks dan sulit ketimbang anak semester awal. Kenapa mereka bisa bilang jauh lebih berat, soalnya ya mereka sudah pernah menjadi mahasiswa baru. Sehingga mereka bisa dengan mudah bilang bahwa semester satu atau dua itu belum ada apa-apanya. Baru perkenalan semata.
Lalu bagaimana orang-orang yang sudah lulus dan tengah berjibaku dalam pekerjaannya ketika membaca keluhuhan anak semester akhir? Tentu mereka juga bakal bilang, “Yaelah semester akhir itu nggak seberapa, ketika masuk dunia kerja baru deh kerasa pusingnya.”
Begitu juga kalau dibalik, para maba yang mengeluh ini tentunya juga bisa bilang ke anak SMA yang stres dengan sekolahnya, “Sekolah itu belum seberapa pusingnya, coba nanti kamu masuk kuliah.” Anak SMA pun juga bakal bilang ke anak SMP yang mengeluh. Begitu terus dan sampai pada titik bayi yang keguguran pun bakalan dibilangin, “Kamu mah masih untung nggak terlahir di dunia ini, hidup di dunia ini itu berat.” Hmmm…
Sampai kapan kita mau mengadu nasib? Setiap orang memiliki prosesnya dan kesulitannya masing-masing. Kita nggak bisa dong memukul rata kesulitan semua orang dari sudut pandang sepihak saja.
Bagi orang yang sudah bisa berlari, tentu bakal bilang kalau belajar berjalan itu nggak sulit. Tapi bagi mereka yang baru saja mengumpulkan niat buat belajar berjalan, tentu itu bukan perkara yang mudah. Mereka butuh bantuan, pegangan, sandaran, serta dukungan.
Mahasiswa baru khususnya angkatan korona ini tentu memiliki tekanan berkali-kali lipat. Di masa transisi mereka dari anak sekolahan menjadi anak kulihan tentu ini butuh waktu untuk beradaptasi. Biasanya mereka di sekolah terbiasa disuapi materi atau ilmu oleh guru maka saat kuliah mereka tentu masih kaget ketika semua hal harus dilakukan secara mandiri.
Mereka yang dulunya hanya menyimak, kini dituntut untuk aktif , kreatif, dan inovatif . Terlebih di masa adaptasi ini mahasiswa angkatan korona justru langsung dihadapkan dengan perkuliahan secara daring. Tentu ini merupakan kesulitan tersendiri bagi mereka.
Sebenarnya hal seperti ini tidak hanya dijumpai di dunia maya, tapi di dunia nyata pun juga demikian. Ketika ada orang yang mengeluh kebanyakan netizen akan membandingkan beban hidupnya pada si pengeluh, sehingga si pengeluh ini merasa berdosa dengan keluhananya yang ternyata nggak ada apa-apanya dengan si pendengar curhatan. Dia yang tadinya pengen mengeluh, dipaksa untuk bersyukur karena bebannya belum seberapa dan nggak ada apa-apanya.
Kira-kira gimana sih rasanya digituin tuh? Benar ada kalanya kita itu juga harus mensyukuri apa yang ada bahkan masalah yang tengah menimpa kita sekali pun. Tapi ada kalanya kita nggak harus berpikir positif terus-terusan kan ya. Ada kalanya kita harus realistis.
Kalau lelah yah sudah emang ini melelahkan, masa kita nggak boleh bilang lelah. Kalau hal ini nyatanya berat, ya apa salahnya kita bilang kalau hal ini berat. Seolah di dunia ini kita harus dituntut untuk terus menerus semangat, tentu ini tidak manusiawi.
Di mana-mana semua ujian yang sudah berlalu tentu bakal kita bilang hal itu mudah karena kita sudah melaluinya, tapi kalau ujian yang ada di depan mata kita tentu itu bukan perkara yang mudah soalnya itu merupakan tantangan baru yang harus kita selesaikan. Jadi nggak perlu adu nasib, semua memiliki porsi beban dan kesulitan masing-masing.
Editor : Hiz
Foto : Pexels
Comments