Sehambar apa Ramadan tanpa garam?
Tahun 2021 adalah tahun terindah, karena bisa bertemu kembali dengan keluarga. Ya, sejak 2012 saya kuliah di Malaysia sampai 2020 kemaren, saya akhirnya dapat menyelesaikan kuliah S2 saya. Selama hampir 9 tahun tersebut, jarang saya memiliki waktu berpuasa di Indonesia, karena terbentur jadwal kelas dan ujian. Bahkan, sudah tiga kali saya merasakan lebaran di Malaysia. Today is totally different, filled with blessings, alhamdulillah.
Karena tahun ini sudah kembali ke tanah air, gak mungkin dong melewatkan makanan yang menarik untuk dijadikan takjil atau santan sahur. Sudah terbayang ingin memasak segala makanan yang hanya bisa dilihat di media sosial selama di Malaysia, seperti Mie ayam dan seblak. I also can’t wait my family to taste what I made selama Ramadan ini.
Tapi, qadarullah, sebagian tidak sesuai harapan. Ayah saya harus melewati treatment khusus selama puasa ini untuk tidak mengonsumsi garam. Garam, a base for all food. Tanpa garam, gimana rasanya kan? Kehidupan aja harus ada garamnya biar sedap. Sudah terbayang kan bagaimana rasanya ramadan tanpa garam?
Ini membuat kami sekeluarga berunding makanan apa yang cocok bisa dinikmati oleh ayah terutama dan kita semua. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak membeli makanan yang aneh-aneh diluar untuk menghargai treatment papa selama ramadan ini, dan juga tetap memasakan makanan yang sama namu dipisahkan sebelum dibumbui. Mungkin kalau dibayangkan cukup simple. Tapi pada nyatanya, hal ini sangat rumit bagi kami sekeluarga. Terlebih banyak yang kami tahan.
Namun, sisi positifnya adalah, kami berusaha untuk membuat aneka jajanan sehat, seperti, martabak telur isi sayur-sayuran tanpa garam, salad kentang telur dengan olive oil dan madu, bahkan, avocado smoothie dijadikan menu buka puasa. Tujuannya hanya satu, membantu papa mengurangi konsumsi garam.
Pernah suatu ketika, saya ingin bereksperimen membuat kuetiaw kungfu, sebuah makanan khas Malaysia yang cocok bagi saya dikonsumsi oleh Ayah karna rasanya yang cukup light. Tanpa basa-basi saya mencoba meracik seenak mungkin, dan ya, tanpa garam. Karna goal itulah satu keluarga merasakan makanan yang benar-benar tanpa garam, plain. Mungkin chef Arnold udah meminta saya pulang kali ya kalau ikut kompetisi memasak itu, hahaha.
But surprisingly, Ayah memuji masakan saya yang cocok dengan kondisi beliau saat itu, he likes it. Akhirnya sayapun lega dan bisa menambahkan sambal kedalam kuetiaw kungfu yang akan saya , it tastes good!!
Ketika saya sedang menulis ini, program tanpa garam ayah masih berlanjut. Alhamdulilah kondisi ayah semakin membaik, tensi perlahan kembali normal, berat badan menyusut, namun batasan masih ada. Saat ini aja, saya akan membuat bakwan kangkung dan sapi tahu sesuai request ayah yg ingin sesuatu yg berbeda namun dimodifikasi bakwan versi pajeon, pancake Korea.
Dari hal ini, ada hikmah yang gak bisa aku tolak. Hidup sehat. Pertama, belajar memasak kembali. Selama kuliah di Malaysia, jarang sekali memasak karena memang kampus melarang kita untuk memasak sendiri. Karena memang ketika di rumah, rasanya gatal ingin bereksperimen sesuatu. Kedua, Allah membiarkan kita untuk mendetoks diri kita dari jajan-jajanan yang kurang sehat, sehingga kita semua harus membiasakan diri untuk memasak sesuatu yang lebih sehat. Bonusnya selain sehat, berat badan juga turun. Semoga puasa kita semua tahun ini berkesan ya!
Editor : Hiz
Comments