Akhir-akhir ini, saya sering melihat cuitan-cuitan motivasi yang beredar di sosial media. Entah itu pada laman Instagram, Tiktok, YouTube, atau bahkan pada buku sekalipun. Dengan dalih sebagai bentuk self development atau self improvement, kiranya membuat minat khalayak umum pada konten yang berbasis motivasi itu semakin meningkat dan berkembang secara masif.
Konon, motivasi adalah obat penyembuh kemalasan, dan bisa membuat seseorang semakin bersemangat. Tapi saya sih, nggak terlalu percaya juga. Bersamaan dengan hal ini, saya sepakat dengan perkataan salah seorang mantan menteri luar negeri Amerika Serikat Colin Powell, bahwa “Sebuah mimpi tidak menjadi kenyataan melalui sihir; butuh keringat, tekad, dan kerja keras”.
Tentu, kata sihir di atas saya anggap sebagai substansi dari konten motivasi yang diminati kaum milenial sekarang ini. Karena sadar atau tidak, motivasi seakan-akan memberikan sihir secara diam-diam dan personal, lalu membuat kita seakan-akan merasa optimis dan semakin bersemangat. Tapi, kalau kata Colin Powell, mimpi itu juga harus diiringi dengan kerja keras, nggak cukup mimpi saja.
Sebenarnya, nggak ada salahnya juga, kalau suka mendengarkan konten motivasi. Yang terpenting, bisa membatasinya dengan baik. Ya, minimal sekali mendengarkan, satu kali cuci piring. Artinya, ada progres yang kita jalani meskipun sedikit.
Jika sampai berlebihan, hal tersebut bisa membuat seseorang terkena motivation junkie atau kecanduan motivasi. Nah, motivation junkie merupakan sikap di mana seseorang selalu memiliki perasaan ingin menambah pengetahuannya dengan hal-hal yang bersifat motivasi secara berlebihan, dan cenderung tidak berdampak apa-apa pada hidupnya.
Tentu, dampak yang paling jelas adalah dikarenakan tidak bisa mengimbangi atau membatasi antara asupan motivasi yang ada dengan aksi implementasi. Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik?
Konsumsi Secukupnya
Ketika sedang sakit, pada umumnya kita akan minum obat kan, ya. Pastinya, dalam hal ini tidak akan terlepas dari yang namanya dosis. Ketika kita mengonsumsinya secara berlebihan atau sampai overdosis, pasti akan mengakibatkan kita diare, pusing, muntah-muntah, atau jika tidak segera diatasi bisa berimplikasi pada rusaknya beberapa fungsi organ.
Hal itu juga kiranya nggak jauh berbeda seperti halnya mengonsumsi konten motivasi. Jika masih dalam batas wajar, ya nggak masalah. Tapi, jika sampai berlebihan bahkan mungkin sampai kacanduan, apalagi nggak bisa diimbangi dengan baik, rasanya akan membuat sia-sia saja. Pada intinya, untuk menghadapi fenomena seperti ini tergantung pada bagaimana cara kita menyikapi, dan tentu apa-apa yang dilakukan tidak akan lepas dari sebuah konsekuensi.
Harus bisa mengimbangi antara takaran motivasi dan aksi
Saya jadi teringat, ada salah satu meme yang terpampang dengan jelas gambar seorang lelaki tengah meminum kopi, lalu terdapat tulisan seperti ini “when you drink coffee to be productive, but just end up procrastinating even more but with a faster heart rate”.
Gini-gini, ketika minum kopi, pada dasarnya akan membuat seseorang bisa semakin bersemangat dan membuat mood menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan kopi mengandung kafein, dan adanya peningkatan produksi dopamine di otak kita. Dengan demikian, jelas saja, rasanya percuma jika setelah minum kopi tapi kita malah menunda-nunda atau pekerjaan dan cenderung malas.
Saya kira, gambaran di atas juga sejalan dengan fenomena motivation junkie yang marak terjadi di situasi saat ini. Ketika seseorang mengonsumsi motivasi (niatnya, sih, agar lebih bersemangat), tapi ujung-ujungnya membuat malas, dan akhirnya malah membuat aktivitas tidak berjalan dengan baik.
Hal yang lebih penting dari motivasi yang berseliweran itu
Video-video motivasi yang sering berseliweran di sosial media itu, saya kira nggak cukup mempan untuk bisa membuat diri termotivasi dalam jangka waktu yang panjang. Ya, saya nggak tahu anda merasakan hal yang sama atau tidak, karena terkadang awalnya saya merasa lebih termotivasi, tapi setelahnya seakan-akan biasa saja. Termotivasi sih, iya, tapi lebih tepatnya malah membuat saya semakin mudah untuk berhalusinasi, deh.
Menurut saya, yang paling penting dari motivasi-motivasi itu adalah motivasi yang berasal dari diri sendiri. Namanya adalah motivasi intrinsik. Saya rasa, hal-hal yang sifatnya alamiah dari masing-masing individual itu akan lebih melekat dan memiliki daya tahan yang lama. Sebagaimana manusia itu memiliki individual differences, yang pada dasarnya setiap orang memiliki karakter dan perwatakan yang berbeda-beda.
Tapi, bukan berarti saya anti konten-konten motivasi yang sering muncul di sosial media itu, ya. Santai. Sampai saat ini juga saya masih suka menyimak konten-konten motivasi yang menjejali beranda TikTok dan Instagram. Saya akui, mereka lebih keren dan lebih menginspirasi daripada orang yang suka jual-jual seminar motivasi, yang ujung-ujungnya malah ngajak bisnis.
Disclaimer, bahwa artikel ini bukan untuk memotivasi anda semua. Hanya saja, dari hati kecil saya ingin memberikan sedikit pengetahuan dan pandangan. Agar mengonsumsi konten motivasi yang penuh positif itu tidak berujung pada halusinasi semata.
Editor : Assalimi
Gambar : Pexels
Comments