Dulu dipuja, bagaimana nasib Hachim Mastour kini?

Masih teringat video bertajuk Freestyle Football Jugling Battle di kanal YouTube RedBull yang mempertemukan dua talenta muda jagat persepakbolaan, Neymar dan Hachim Mastour, enam tahun silam. Kala itu, Neymar dengan label penerus Messi di Barcelona nampak kehabisan trik di depan calon bintang AC Milan berkebangsaan Maroko tersebut. Tak ayal, Neymar pun dengan berat hati mengaku kalah.

Tak sampai di situ, Hachim Mastour yang saat itu dilabeli sebagai Voted World’s Best Talent juga berhasil membuat Neymar misah-misuh kala berduel dengannya dalam gim Fifa. Sekali lagi, Neymar mengakul kalah. Dalam dua pertandingan tersebut, jugling dan Fifa, bisa dikata talenta terbaik negeri Samba itu kalah telak dari pemuda baru puber.

Sama-sama Jago Jugling, Namun Beda Nasib

Namun yang kemudian terjadi sangat berbeda 180 derajat. Neymar sejak ditransfer dari Barcelona menuju klub kaya raya Paris-Saint Germain hingga saat ini masih menjadi pemegang rekor transfer termahal dengan bandrol 222 juta paun. Lalu Mastour? Alih-alih memiliki prestasi yang taak kalah mentereng, ia hanya menjadi penghangat bangku cadangan salah satu klub Serie C yang musim depan promosi ke Serie B, Reggina.

Bahkan, merujuk pada data yang dilansir dari transfermarkt, sepanjang pagelaran musim 2019/2020 Mastour hanya bermain dalam satu pertandingan. Itupun sebagai pemain pengganti dengan sisa waktu delapan menit sebelum wasit meniup peluit panjang.

Bayangkan coba! Setahun hanya main delapan menit. Delapan menit loh ini, man-teman. Parfum 50 ribuan pun kalo doi pake nggak akan luntur. Masih bisa kecium baunya. Kalaupun si Mastour boker di hari itu, saya berani bertaruh lebih lama bokernya dari pada doi main sepak bola.   

Memang di awal karirnya sebagai pemain AC Milan, media-media gempar memberitakan dirinya. Berbagai label pemain paling berbakat pun disematkan kepadanya. Di usia yang masih 15 tahun, ia sudah layaknya seperti seorang superstar.

“Karakteristik utama saya? Kontrol bola dan dribling. Saya melakukan hal-hal yang tidak dilakukan anak seumuran saya,” ujar Mastour pada Sky Sport setelah bergabung di Milan, seperti yang dilansir dari goal.com.

Namun nyatanya sepak bola tidaklah sesimpel seperti apa yang ada dalam benaknya. Meski pernah merasakan bangku cadangan tim utama MIlan di usia 15 dan menjadi incaran klub-klub besar macam Real Madrid, Manchester City, dan Barcelona. Tahun-tahun selanjutnya ia bahkan hampir tidak pernah merasakan kesempatan itu kembali.

Di musim 2015/2016, Mastour dikirim ke Malaga dengan status pemain pinjaman bersama harapan ia akan mendapat menit bermain yang cukup. Namun keadaan tersebut tidak banyak berubah, ia bahkan hanya bermain selama lima menit bersama tim senior. Musim selanjutnya hampir sama, bersama PEC Zwolle ia hanya mengoleksi 5 kaps dengan 15o menit bermain.

Sepakbola Tak Sekedar Skill Gocek Saja

Bahkan pelatih Zwolle kala itu, Ron Jans, mengatakan bahwa Mastour hanya bermain dalam satu dimensi. Ketika bola berada di kakinya, ia dapat melakukan beragam trik untuk berkelit dari hadangan lawan, namun pergerakannya tidak memberi dampak apa-apa pada permainan tim. Dia terlalu banyak termenung dan kerap mundur atau ke samping kala menguasai bola dan tidak banyak bergerak saat tidak menguasai bola. Dalam hal bertahan pun dia sangat buruk. Pengelolaan bola Mastour sangat menjanjikan tetapi kebanyakan yang ia lakukan kurang efektif.

Musim selanjutnya, nasib Hachim Mastour sempat terkatung-katung sebelum Lamia, klub asal Yunani, merekrutnya secara gratis setelah Milan memutus kontraknya. Bukannya membaik, justu ia malah terlibat cek-cok dengan klub hingga pada akhirnya mereka sepakat untuk memutus kontrak Maret tahun lalu. Ia pun kembali ke Italia untuk bergabung dengan klub kasta tiga, Reggina. Dan sepertinya karirnya masih belum bisa dianggap membaik.

Di usia yang menginjak 22 tahun per 15 Juni lalu, sepertinya masih tersedia waktu yang cukup panjang untuk menjadi seperti apa yang diharapkan para milanisti delapan tahun silam. Atau minimal memperbaiki performa lah. Hal ini hanya akan terwujud jika bekerja keras dan belajar dari pengalaman. Tak lain karena perkembangan sepak bola yang menuntut pemainnya untuk memiliki kemampuan yang lebih kompleks dan bermain secara sistem. Jika tidak, maka ia akan tetap dikenal sebagai wonderkid gagal  dan menjadi penerus dari Freddy Adu.