Olahraga lari sudah jadi budaya kaum urban. Kita bisa melihatnya kalau akhir-akhir ini marak event lari yang diselenggarakan, baik di kota besar maupun kota kecil di Indonesia. Dan dari sumber yang saya tahu, jumlah pesertanya pun tak main-main, bisa mencapai ribuan peserta setiap kategori lombanya.
Sedikit gambaran, dalam sebuah event lari, biasanya, kategori jarak yang diperlombakan adalah 5 kilometer, 10 kilometer, Half Marathon atau 21,0975 kilometer dan Full Marathon atau 42,195 kilometer. Tapi, ada juga event lari yang hanya menyelenggarakan kategori jarak salah satu yang saya sebut tadi.
Selain makin banyaknya event lari yang digelar, brand-brand apparel pendukung olahraga kardio satu ini pun sudah banyak bermunculan. Baik itu brand lokal maupun luar negeri, harganya pun bervariasi.
Nah, saking banyak peminat olahraga lari, banyak stigma miring yang sering dilontarkan oleh para “senior” kepada para pemula di dunia lari, salah satunya adalah istilah “pelari FOMO”. Dari kalangan pemula yang mulai berolahraga lari, banyak di antara mereka yang dianggap FOMO atau Fear of Missing Out, singkatnya ikut-ikutan. Padahal, olahraga lari itu untuk siapa saja alias nggak pandang bulu.
Ya, saya tahu, banyak di antara pelari pemula ini kenapa dianggap FOMO karena para “senior” sebenarnya nggak mau kalau lari itu hanya ikut-ikutan. Ditakutkan juga, jika olahraga lari yang mereka (pemula) jalankan dengan ikut-ikutan akan dilakukan secara asal-asalan. Padahal, olahraga lari itu olahraga yang berprogres, pelan-pelan, tahap demi tahap, langkah demi langkah.
Karena Olahraga Lari untuk Siapa Saja, Nggak Papa FOMO
Untuk hal apapun, termasuk olahraga lari, rasanya kita semua pernah FOMO juga, deh. Ikut-ikutan, nggak mau ketinggalan tren dan sebagainya, hal itu rasanya memang wajar terjadi. Saya rasa, sekelas atlet nasional pun dulu mungkin awalnya hanya ikut-ikutan teman, lihat idola terus mengikuti yang dilakukan idolanya dan sebagianya. Atau mungkin, banyak juga orang-orang yang sekarang ahli di bidangnya masing-masing selain olahraga berawal karena FOMO.
Tapi, kalian FOMO terhadap olahraga lari yang sekarang banyak digandrungi, alangkah baiknya kalian bijak dalam menjalani ke-FOMO-an kalian. Contohnya, berlarilah secara bertahap, berlatih yang giat dan lainnya. Mungkin terdengar klise, tapi memang itu kan yang seharusnya dilakukan?
Berlarilah Sesuai Kemampun dan Nggak Perlu FOPO
Selain ada istilah FOMO, ada juga FOPO, loh. FOPO merupakan singkatan dari Fear of People’s Opinion, ia merupakan rasa takut akan penilaian seseorang terhadap diri kita. Tentu, ketakutan yang saya maksud di sini adalah rasa takut akan penilaian yang negatif.
Fenomena joki strava yang beredar beberapa waktu belakangan, saya rasa karena berawal dari ketakutan pelari (pemula dan senior) akan penilaian pelari yang lain. Bisa dibilang, pelari yang FOPO ini punya gengsi yang terlalu besar. Mereka yang FOPO ini nggak mau dianggap lemah, nggak bisa lari kencang, nggak bisa lari jauh dan lainnya. Saya pernah mendengar celetukan dari para pelari saat di tongkrongan. Kira-kira begini, “yah, lari cuma 5 kilo doang, nih?” atau “lari 5 kilo kok satu jam, sih?”.
Menjengkelkan, bukan? Hal-hal seperti itulah yang ditakutkan para FOPO-ers. Sehingga menghalalkan segala cara, termasuk joki strava menjadi jalan ninja mereka. Padahal, kalau mau olahraga lari ya olahraga saja, nggak perlu memusingkan pendapat orang, tentang kita yang lemah, nggak bisa lari kencang, dan lainnya. Namanya juga pemula kan, ya?
Seperti yang saya bilang di awal, lari itu bertahap. Harusnya, kan berlari sesuai kemampuan dan nggak perlu takut dengan penilaian orang. Yang terpenting adalah tetap berlatih dengan kapasitas yang kita miliki, nggak usah berlebihan karena ditakutkan akan menimbulkan masalah seperti cedera dan jangan lupa untuk senantiasa konsisten, karena konsisten adalah KOENTJI!
Editor: Yud
Gambar: Pexels
Comments