Beberapa hari lalu, Indonesia dikejutkan dengan kontak senjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan TNI/Polri.  Peristiwa tersebut berujung pada gugurnya Kepala BIN Papua, Brigjen I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, yang disinyalir terkena peluru nyasar. Peristiwa ini membuat Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo, mendesak penumpasan TPNPB yang telah mengancam keamanan dan kedaulatan negara.  Beliau pun mengaku akan bertanggung jawab apabila nantinya ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pendekatan militer tersebut.

Lantas, apakah pendekatan militer merupakan langkah terbaik? Apakah aspirasi dan kesejahteraan rakyat Papua dapat tercapai apabila kelompok-kelompok kriminal bersenjata tersebut dimusnahkan?

Tulisan ini menjabarkan secara singkat alasan dibalik perlunya pendekatan non-militer di Papua.  Tulisan ini juga mendesak para pejabat negara terkhusus Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo agar segera memulai kajian resolusi konflik yang tepat sasaran, dibanding mengais popularitas politik melalui omong kosong pelanggaran HAM.

Urgensi Pendekatan Non-Militer

Pendekatan militer di Papua ditandai dengan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang melibatkan pemerintah dan militer Indonesia, seperti tragedi Biak (1998), Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014).  Kasus-kasus tersebut meliputi pembunuhan massal, penculikan, dan pemerkosaan yang dilakukan oknum tentara Indonesia kepada aktivis dan juga warga sipil di Papua.  Selain itu, pelanggaran HAM juga dilakukan oleh kelompok separatis seperti pembantaian pekerja tambang di Kabupaten Nduga oleh kelompok Egianus Kogoya tiga tahun silam.  Namun, hingga tulisan ini dibuat, baik pemerintah Indonesia maupun kelompok separatis masih belum bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa tersebut.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa pelanggaran HAM dalam konflik Papua memang sering terjadi, bahkan jauh sebelum Bambang Soesatyo berkomentar.  Namun, pernyataan beliau menandakan ketidakmahutahuan seorang pejabat negara perihal sejarah kelam yang dialami warga sipil dan prajurit TNI di Papua.  Terlihat mudah bagi beliau untuk mendorong aksi militer dan pelanggaran HAM, apalagi sambil bersembunyi di balik meja jabatan.

Pendekatan militer dan pelanggaran HAM tidak akan pernah menyelesaikan masalah di Papua.  Opresi militer berkelanjutan hanya akan menyebabkan siklus kekerasan dan dendam yang tak kunjung usai.  Perlu dicatat bahwa kematian Brigjen Putu Danny merupakan sebuah aksi pembunuhan yang tidak bisa ditoleransi dan harus ditindak tegas.  Akan tetapi, peristiwa tersebut tidak akan terjadi apabila pemerintah berani untuk melakukan diskusi, kaji ilmiah, dan melakukan pendekatan non-militer lainnya terhadap kubu separatis Papua. 

Resolusi Konflik Melalui Kebijakan yang Efektif

Dirangkum dari karya ilmiah Jason MacLeod, Self-determination and Autonomy: The Meanings of Freedom in West Papua, kelompok separatis mendasari aktifitas mereka dari beberapa keluhan seperti opresi militer, pelanggaran HAM, ketimpangan ekonomi, migrasi massal warga non-Papua, dan rasisme.

Kelompok separatis dan warga sipil merasa bahwa Indonesia telah berperilaku tidak adil dan memarginalkan rakyat Papua.  Isu rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya merupakan contoh konkrit dari keluhan tersebut.

Rakyat Papua juga masih dilanda kemiskinan, kekurangan mutu pendidikan, dan pelbagai isu sosial lainnya.  Menurut survey Badan Pusat Statistik, misalnya, pada tahun 2019 tercatat bahwa tingkat kemiskinan di Provinsi Papua dan Papua Barat masing-masing mencapai 26,55% dan 21,51% dibanding rata-rata nasional yang hanya sekitar 9,22%.  Survey dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Budaya juga menunjukkan bahwa indeks partisipasi literasi di kedua provinsi tersebut juga merupakan yang terendah se-Indonesia.

Selain itu, menurut sebuah riset dari Jim Elmslie, demografi penduduk Papua telah mengalami banyak pergeseran.  Terhitung bahwa masyarakat kota-kota besar di Provinsi Papua dan Papua Barat telah didominasi oleh masyarakat non-Papua (Jawa, Sumatera, Sulawesi, dll.), sementara warga lokal Papua lebih banyak mendiami wilayah pedalaman dan pegunungan.  Hal ini mengindikasikan ketimpangan akses terhadap fasilitas kesehatan dan kesempatan ekonomi antara warga lokal dan warga non-Papua.

Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa permasalahan di Papua lebih dari sekadar konflik bersenjata dan keisengan melanggar HAM.  Keluhan-keluhan dari kubu separatis tidak hanya dimiliki oleh mereka sendiri, tapi juga rakyat Papua pada umumnya.  Pemerintah Indonesia harus menghapus ketimpangan yang terjadi melalui implementasi kebijakan yang efektif.

Kritik dan Saran

Para pejabat negara perlu melakukan kaji ilmiah terhadap situasi dan kondisi di Papua agar kebijakan yang dibuat dapat bersifat publik-sentris.  Revisi Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, misalnya, harus mengedepankan keamanan, kesejahteraan, dan keberlangsungan hidup seluruh elemen masyarakat di Papua.  Kebijakan tersebut juga harus menjamin pemberhentian opresi militer dan pelanggaran HAM yang menimpa warga sipil.  Selain itu, pemerintah juga perlu mempromosikan kurikulum pendidikan anti-rasisme di sekolah-sekolah.

Pada akhirnya, para pejabat negara, terkhusus Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo juga harus memperhatikan etika dan pola pikir kritis dalam menghadapi suatu konflik, sehingga solusi yang diberikan tidak terdengar asbun.