Tugas dalam Semesta pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, bisa dikatakan pendidikan adalah habitat dari tugas itu sendiri. Masalahnya, mata pelajaran yang harus kita telan sangat banyak dan masing-masing guru dari setiap mata pelajaran memberi tugas yang berbeda satu sama lain.

Guru Matematika meminta  untuk menyelesaikan studi kasus di koperasi menggunakan sistem persamaan linier dua variabel. Pada mata pelajaran Seni Budaya, diberikan tugas melukis di atas kanvas. Tugas pelajaran Kimia diminta untuk menghafal tabel periodik; dan seterusnya. Kalo dipikir-pikir, hal tersebut sebenarnya agak menyebalkan.

Apalagi jika gurunya nggak bisa memaklumi perbedaan kemampuan setiap murid, haduuuh!!! Mood untuk mengerjakan tugas dari beliau langsung anjlok.

Guru Moderat

Namun, sebenarnya nggak semua guru punya karakter seperti itu. Saya sendiri pernah mendapati seorang guru yang bisa dibilang ‘moderat’. Beliau ini berkenan untuk mengerti bahwa setiap murid memiliki kemampuan di bidangnya masing-masing. Tampaknya sudut pandang tersebut tumbuh dari kebiasaan beliau membaca buku.

Bentar-bentar! Berarti kalo kayak gitu, bisa para guru yang nggak mau memaklumi perbedaan kemampuan muridnya itu jarang/nggak pernah baca buku, ya?.

Hah, entahlah! Rasanya nggak bisa semudah itu tergeneralisasi. Ada banyak kemungkinan faktor lain, misalnya bentuk balas dendam atas perlakuan yang beliau-beliau dahulu dapatkan. Ya siapa tahu kan!?.

Jadi Mazhab Baru

Ekosistem seperti yang telah disebut di atas ternyata melahirkan sebuah ‘mazhab’ tersendiri di kalangan murid. Tentu saja tetap tidak mengesampingkan sifat asli dari para murid itu sendiri. Mazhab tersebut berisi orang-orang dengan uang saku lebih yang nggak mau repot-repot menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas. Mereka ini menggunakan kelebihan uang sakunya tadi untuk membayar temannya yang lain supaya berkenan mengerjakan tugas mereka.

Jika dilihat dari perspektif ekonomi, fenomena termaktub sebenarnya menelurkan sebuah lapangan pekerjaan. Tak jarang ditemukan para joki tugas yang tingkat ekonominya nggak seberuntung mazhab pengguna jasa mereka. Jadi, bisa dikatakan mazhab pengguna jasa joki tugas, menjadi salah satu pihak yang berperan menunjang kesejahteraan kelompok lain.

Lahirnya Joki Tugas

Saya sendiri sebenarnya nggak pernah punya niatan untuk menjadi seorang joki tugas. Namun, sifat saya yang nggak bisa berkata ‘tidak’ pada orang lain ini mengubah segalanya. Jujur, saya nggak pernah menawarkan diri untuk mengerjakan tugas orang lain dengan tarif tertentu.

Jadi begini ceritanya. Waktu itu, salah seorang teman MTs saya (yang berinisial RN) tengah mencari seorang joki tugas. Saya sendiri sebenarnya nggak pernah sekali pun sekelas sama RN ini, dan saya cuek-cuek saja dengan apa tingkah lakunya. RN kemudian diberitahu oleh MB bahwa saya dahulu semasa MTs mau menjadi seorang joki tugas (padahal itu sama sekali nggak benar).

Obrolan tersebut terjadi tanpa sepengetahuan saya. Alhasil RN meminta kontak saya kepada MB; dan ketika menghubungi saya, RN menceritakan kronologi darimana ia mengetahui kontak saya. Awal mula RN menghubungi saya, dia bilang bahwa dia mendapatkan tugas untuk bikin proposal skripsi, sebelumnya RN mengaku bahwa ia masih semester 2. Saya yang saat itu sudah semester 6 merasa agak heran, “Bener nggak sih ini tugasnya!?”. Oh, iya! RN ini sempat mengalami gap year, ya! Jadi mafhum kenapa semester yang kami tempuh berbeda.

Tidak Ada Alasan Lagi Menolak

Oke! Kembali ke RN dan tugasnya. Karena waktu itu saya belum tuntas (masih/sedang) menempuh mata kuliah yang berkaitan dengan proposal skripsi, saya pun jadi punya alasan kuat dan logis untuk menolak permintaan RN. Saya kira hal tersebut merupakan akhir dari segalanya, nyatanya saya seratus persen salah.

Di lain waktu, RN kembali menghubungi saya dan meminta saya untuk mengerjakan tugasnya. Saya mbatin, “Waduh, iki! Wes ra ndue alasan nolak maneh”. Akhirnya, ya…..saya meng-iya-kan meski nurani sebenarnya meng-tidak-kan. Saya lupq mata kuliah apa yang saya kerjakan dulu, intinya bersinggungan dengan ‘pemberitaan’.

Terpaksa Belajar

Sebagai orang yang menempuh kursi pendidikan di fakultas yang ‘terlampau akhirat’, tentu tugas RN ini menjadi hal yang tak mudah bagi saya. Saya ‘terpaksa’, eh! Maksudnya ‘harus’ mempelajari dasar-dasar pemberitaan supaya bisa memahami maksud yang terkandung dari tugas RN. Selepas agak paham, saya pun mulai mengerjakan sampai selesai-kirim hasilnya ke RN-nunggu ‘uang pengganti keringat’. Ketika RN menanyakan harga, saya nggak mau menyebut nominal tertentu. Saya jawab ala-ala pihak yang biasanya minta sumbangan, “Seikhlasnya”. Setelah jawaban tersebut, saya mengira RN langsung transfer. Ternyata ditunda beberapa hari kemudian.

Makna ‘Seikhlasnya” yang Sebenarnya

Ketika tiba ‘hari transfer’, saya mendapati hal di luar ekspektasi saya. Uang yang saya terima ternyata berjumlah separuh dari apa yang saya bayangkan. Agak kecewa, tapi ya….. Saya sadar mungkin jawaban, ‘seikhlasnya’ dari saya sebelumnya turut memengaruhi hal tersebut.

Awalnya, saya kira dengan jawaban tersebut, orang akab merasa nggak enak jika nggak memberi ‘sepantasnya’. Lah ternyata RN beneran nggak ngerasa nggak enak. Nggak enak jika uangnya tersisihkan terlalu banyak untuk tugas. Mengapa saya menulis demikian? Karena RN setelah itu rajin banget ngafe.

Benar-benar Tidak Manusiawi!

Oke! Kalian mungkin bertanya-tanya, “Emang di mana letak nggak manusiawinya? Seperti yang ada pada judul”. Jadi begini, wahai para netizen yang budiman.

Pertama, tugas RN sama sekali nggak ada sangkut-pautnya dengan jurusan saya, bahkan jurusan apalagi fakultas saya. Artinya apa? Saya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk merampungkan tugas RN. Sayangnya, di sini RN seolah nggak peduli, nggak mau tahu akan hal tersebut. Haduh! Wes, angel tenan ngadepi wong Jawa nggak njawani ngeneki!”.

Kedua, nominal uang yang RN transfer nggak memenuhi minimal nominal penarikan di ATM. Lha kalau kayak gini, terus gimana cara saya menggunakan uang tersebut?. Dibiarin di rekening, bakalan berkurang. Mau buat top up ShopeePay untuk belanja sesuatu, nggak cukup untuk biaya ongkirnya.

Akhirnya dari sini saya jadi paham makna terdalam dari kalimat mas Iqbal Aji Daryono, “Hidup itu sejatinya bersyukur”. Terakhir, pesan buat para pemakai jasa joki tugas temen sendiri, “Tolong banget bayarannya yang agak manusiawi, ya! Setidaknya bisa untuk tarik tunai dari ATM Rp50.000,00”.

Editor : Faiz

Gambar : Pexels