Sebagai anak desa yang sederhana, saya nyaris nggak pernah naik pesawat. Pertama kali naik pesawat ketika umur enam tahun. Sampai sekarang umur 24 tahun, nggak pernah lagi tuh merasakan moda transportasi rute langit itu. Dulu pun bisa naik karena dibayarin saudara yang bisnisnya sedang jaya-jayanya.
Usia enam tahun naik pesawat, tentu saja nyaris tak ada memori pengalaman yang membekas. Barulah beberapa saat lalu, saya berkesempatan kembali menjajal rasanya naik pesawat di usia dewasa. Usia yang bisa merekam memori pengalaman secara utuh.
Naasnya, pengalaman pertama naik pesawat saya ketika dewasa sangat tidak menyenangkan. Niatnya ingin merasakan pengalaman baik naik moda transportasi orang kaya, malah berujung trauma dan nggak ingin naik lagi. Cukup kali ini saja, tretan.
Delay dan Transit yang Bikin Panik!
Saya berkesempatan bisa naik pesawat karena difasilitasi program beasiswa. Alhasil, pihak travel dari beasiswanya lah yang memesankan tiket. Jadi, saya nggak ruwet soal biaya.
Saya naik dari bandara di Surabaya dengan tujuan Yogyakarta. Hanya saja, tiket yang dipesankan justru ke arah Jakarta dulu, baru dari Jakarta naik pesawat lagi menuju Yogyakarta. Sebenarnya saya agak bingung sekaligus senang. Bingung karena kenapa harus ke Jakarta dulu. Senang karena bisa naik pesawat dua kali, sehingga berkesempatan bisa merasakan pengalaman yang lebih mendalam tentang naik pesawat.
Namun, perasaan senang itu runtuh ketika saya langsung dihadapkan dengan delay selama lebih dari 30 menit. Harusnya boarding pukul 13.20, ditunda menjadi 13.50. Itu pun, boarding-nya lama sekali sampai memakan waktu 30 menit. Menunggu penerbangan setelah boarding pun selama 30 menit. Jadi yang awalnya saya dijadwalkan terbang pukul 13.20 malah molor menjadi 14.50. Baru mendarat di Jakarta pukul 16.11. Padahal, pada jadwal, pesawat saya transit di Jakarta pukul 15.50.
Awalnya, saya kira pesawat transit saya yang dari Jakarta ke Yogyakarta akan menyesuaikan situasi delay yang dari Surabaya. Ternyata tidak. Ketika saya sampai dan menuju ruang tunggu, petugasnya menyampaikan kalau pesawat tujuan Jogja sudah berangkat. Alamak! Sebagai orang dewasa yang hitungannya baru pertama kali naik pesawat, paniklah saya. Mana sendirian lagi. Kacau.
Saya bertanya pada petugasnya, apa yang harus saya lakukan. Jawaban petugasnya singkat sekali, “silakan melapor ke maskapai” katanya. Saya bingung, melapor ke sebelah mana? Saya tanya lagi dong. Petugasnya menjawab silahkan ke counter pengaduan. Waduh, dry text banget, nih, para petugas bandara. Alhasil, saya berjalan sambil bertanya ke beberapa orang di bandara Jakarta yang luasnya melebihi tiga dusun di desa saya. Bingung? banget. Panik? pasti. Orang baru pertama kali, sendirian pula!
Setelah berkeliling selama 30 menit penuh kepanikan, barulah saya menemukan counter pengaduan maskapai yang saya cari. Langsung saya mengadu dan tiket baru saya segera diurus. Setelah tiketnya keluar, ternyata penerbangannya 10 menit lagi. Dari situ, saya langsung bergegas, tergopoh-gopoh, dan panik untuk kesekian kalinya. Syukurnya masih terkejar. Jujur, saya tidak bisa membayangkan kalau sampai ketinggalan pesawat lagi. Kayaknya bakal nangis di pojokan bandara. Huuhuuu.
SOP-nya Benar, tapi Saya Nggak Suka
Kita sama-sama tahu kalau salah satu Standard Operating Procedurei(SOP) di pesawat adalah pramugari menjelaskan hal-hal yang harus dilakukan ketika dalam keadaan darurat. Mulai dari menggunakan sabuk pengaman, masker oksigen, hingga membuka jendela darurat.
Tentu saja itu SOP yang benar dan baik karena mengantisipasi keadaan terburuk. Tapi sebagai orang pertama dan sendirian naik pesawat, ya nggak suka lah. Serem dan takut. Parahnya lagi, lah kok saya duduk tepat di posisi jendela darurat.
Duduk Tepat di Dekat Pintu Darurat Pesawat
Duduk tepat di dekat pintu darurat ternyata tidaklah mengenakkan. Terutama bagi saya yang baru pertama kali naik pesawat. Saya didatangi secara khusus dan dijelaskan oleh pramugarinya tentang cara membuka jendela darurat jika nantinya keadaan darurat benar-benar terjadi. Penjelasannya detail sekali, seakan situasi daruratnya beneran bakal kejadian. Kan saya jadi takut. Coba kalian di posisi saya, baru pertama naik pesawat, delay, transit bermasalah, diberi tanggung jawab buka jendela darurat lagi. Wah, kacau sih.
Ditambah lagi, penerbangan sore itu, dari Jakarta ke Jogja dalam keadaan mendung. Sungguh saya tidak tenang dalam penerbangan. Zikir tak pernah putus dari mulut saya sepanjang penerbangan. Buka tutup buku panduan buka jendela darurat tak juga ketinggalan karena siapa tau situasi darurat itu benar-benar kejadian. Nano-nanolah pokoknya. Ambyar parah!
Meski begitu, syukurnya saya sampai di Yogyakarta dengan selamat. Namun, sekarang yang jelas, naik pesawat justru menjadi memori buruk bagi saya. Nggak mau lagi deh pokoknya. Hadeeh. Kapok, mas!
Editor: Yud
Gambar: Pexels
Comments