Apa yang ada di benak kalian saat melihat atau mendengar kata syndrome? Penyakit berbahaya yang tidak dapat disembuhkan? Penyakit bawaan lahir? Atau penyakit langka?
Tenang. Low Effort Syndrome adalah fenomena yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Apalagi di negara kita tercinta ini. Kalian pasti pernah mendengar ada orang yang mengatakan kalimat di bawah ini bukan?
“Buat apa kerja bagus-bagus, yang penting selesai sudah cukup.”
Atau yang seperti ini
“Selesaikan seadanya aja. Toh nilainya juga bakal segitu aja.”
Hmmm… kalimat itu tidak terasa asing, kan? Seberapa sering kamu mendengar kalimat itu? Atau mungkin, malah kamu yang sering mengucapkannya?
Itu adalah kalimat yang sering diucapkan dari mulut si pengidap Low Effort Syndrome saat diberi suatu tugas oleh dosen tercinta.
Apa itu Low Effort Syndrome?
Low Effort Syndrome merupakan rasa tidak ingin bekerja terlalu keras untuk melakukan suatu tugas ataupun pekerjaan yang diberikan. Hanya mengerjakan ala kadarnya saja. Low Effort Syndrome adalah penyakit yang lumrah muncul di kalangan pelajar, mahasiswa, dan para pekerja.
Memang sekilas tidak terlihat berbahaya, karena hal tersebut merupakan salah satu cara dari sebagian besar orang untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padanya, terutama bagi para mahasiswa. Si pengidap Low Effort Syndrome pasti berpikir jika lebih baik mengerjakan tugas seadanya saja daripada tidak mengerjakan sama sekali.
Pemikiran tersebut tidak salah, tetapi juga tidak benar. Sedikit kontradiktif bukan? Tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Coba tanyakan pada orang-orang di sekitarmu, seberapa banyak yang mendukung argumen tersebut? Dan jangan lupa untuk bertanya kepada dirimu sendiri.
Penyebab Low Effort Syndrome
Tidak semua orang awalnya memiliki penyakit ini. Biasanya para mahasiswa baru pasti mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin, dengan segala upaya yang bisa ia kerahkan untuk menyelesaikan tugas yang didapatnya.
Namun, sering kali terdapat faktor eksternal yang memicu penyakit ini. Misalnya ketika seseorang mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, tetapi ada yang mengomentarinya
“Kamu ambis banget sih. Santai dikit lah!”
Jika dikomentari seperti itu, pasti akan membuat orang minder bukan? Kemudian dia jadi enggan untuk mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, karena takut akan dikatakan anak ambis. Akhirnya Low Effort Syndrome akan menular kepada orang yang mendapat komentar tersebut.
Begitulah seterusnya penyakit ini akan semakin menyebar, hingga menciptakan lingkungan pendidikan yang kurang sehat.
Padahal, bersungguh-sungguh adalah cara mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak/Ibu dosen. Memang, apa salahnya jika seseorang bekerja keras untuk mengerjakan tugas, melakukan yang terbaik, dan memberi usaha yang lebih untuk menyelesaikan tugas yang diberikan?
Tidak salah, bukan? Justru itu merupakan sikap yang terpuji dan harus dicontohi oleh si pengidap Low Effort Syndrome.
Barangkali, terdapat penganut sekte Low Effort Syndrome dengan alasan pada saat mengerjakan tugas, ia sudah mengerahkan segala upaya. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Kemudian membuatnya kecewa, karena sudah mengerjakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak mendapat apresiasi.
Atau mungkin, lebih buruk dari itu, segolongan orang yang mengerjakan ala kadarnya saja, mereka malas mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh.
Dampak Low Effort Syndrome
Memang jika dipikir-pikir ada juga manfaatnya menjadi si Low Effort Syndrome, seperti membuat murid dan mahasiswa tidak merasa stress dengan tugas yang diberikan. Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut, penyakit ini banyak kekurangannya.
Low Effort Syndrome akan membuat diri kita sulit berkembang. Terkadang, kita harus memaksakan diri kita sampai batas agar dapat mengeluarkan potensi yang dimiliki. Namun, jika mengerjakan sesuatu dengan ala kadarnya saja, bagaimana kita bisa maju?
Dalam melakukan sesuatu, dengan usaha yang minim, sehingga yang dihasilkanpun tidak maksimal, karena mengerjakannya dengan prinsip yang penting selesai. Hasilnya? Apakah memuaskan? Pasti akan membuat orang yang melihat hasil kerjamu menjadi tidak puas. Mereka tidak berharap lebih pada dirimu. Akhirnya mereka enggan meminta kamu untuk mengerjakan tugas lagi.
Cara Mengatasi Low Effort Syndrome
Coba bayangkan, saat kamu diberi tugas. Kamu mengerjakannya dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh. Memberikan yang terbaik untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Kamu pasti puas dan bangga akan hasil yang kamu berikan, karena mencurahkan semangat dan kerja keras di dalamnya. Orang yang memberimu tugas juga puas dengan hasilnya.
Jika kamu memberikan usaha yang terbaikmu untuk menyelesaikan suatu tugas, pasti akan muncul kepuasan dalam diri kita. Jika tidak dihargai dengan yang seharusnya, tidak apa-apa. Tidak perlu berkecil hati. Kita cukup berusaha terus-menerus.
Hari ini mungkin kamu kurang beruntung, usahamu belum diapresiasi. Tetapi mungkin saja besok atau lusa kamu akan mendapat pujian atas usaha yang telah kamu lakukan. Usaha pasti tidak akan mengkhianati hasil.
Kamu dapat memulainya dengan menghilangkan pemikiran ‘Yang penting selesai’. Jika diberikan tugas, kerjakan sebaik-baiknya. Kerahkan seluruh kemampuanmu saat mengerjakan tugas tersebut. Tidak ada yang namanya usaha sia-sia.
Jika ada teman yang mengataimu ambis dan menyuruhmu mengerjakan tugas seadanya saja, jangan dengarkan dia! Kamu tidak perlu menjadi sama sepertinya. Jadilah dirimu sendiri. Jangan pernah takut untuk melakukan sesuatu.
Ternyata kebiasaan sehari-hari kita yang suka menyelesaikan tugas asal-asalan dapat menyebabkan dampak buruk loh! Jadi, bagaimana? Masih mau jadi pengidap Low Effort Syndrome? Atau masih mau menjadi penyebar bibit-bibit Low Effort Syndrome? Ingat, jangan kecewakan Bapak/Ibu dosen yang telah memberikanmu tugas tersebut ya!
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments