“Pandemi memaksa kami (red: pers mahasiswa) melakukan adaptasi,” ungkap Harits Naufal Arrazie, Pemred BPPM Balairung UGM, dalam acara diskusi acara perdana dari Obrolan Milenialis bertajuk “Bagaimana Pers Mahasiswa Mengawal Isu Perkuliahan Kala Pandemi?” yang digelar melalui Zoom dan Instagram live, Jum’at (18/09/2020).
Tema yang diangkat dalam diskusi ini memang membahas seputar bagaimana pers mahasiswa menghadapi krisis pandemi dan peranan pers mahasiswa dalam mengawal isu-isu kampus yang menyangkut pandemi itu sendiri. Mulai dari simpang siurnya kebijakan keringanan UKT kala pandemi, KKN daring, hingga pembelajaran jarak jauh.
Harits sebagai Pemred Balairung UGM bukan satu-satunya narasumber dalam diskusi ini. Turut hadir pula Pemred LPPM Manunggal Undip, Alfiansyah, dan Pemred LPPM Nuansa UMY, Sri Fatimah. Juga Mas Fajar Junaedi yang merupakan seorang dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kendala yang Dihadapi Pers Mahasiswa di Tengah Pandemi
Pada masa-masa awal pandemi ini, ketiga Pemred yang hadir dalam diskusi mengaku sama-sama sempat kekurangan SDM dan laman web mereka terpaksa kosong selama beberapa waktu. Butuh beberapa adaptasi seperti yang diutarakan Harits. Salah satunya adalah perubahan produk pers dari cetak menuju digital dan penyesuaian distribusi & publikasi seperti yang dilakukan oleh BPPM Balairung. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh LPPM Manunggal. Alfiansyah juga menceritakan bagaimana produk pers mereka yang dulunya semua dalam bentuk cetak, kini bisa diakses di laman web Manunggal. Agak berbeda dengan LPPM Nuansa UMY, “Produk kami adalah majalah, sejak awal juga fokusnya lebih ke online jadi ketika pandemi sudah enggak kaget.” Kata Sri Fatimah.
Berbagi kesulitan-kesulitan lain yang harus dihadapi masing-masing pers kampus antara lain adalah pemberitaan yang kaitannya erat dengan isu pandemi. “Pers umum lebih cepat menulis berita daripada pers kampus karena ada lebih banyak akses dan waktu. Karena itu pers kami harus bisa membuat pembaharuan. Tetapi ada keterbatasan awak dalam memahami isu kesehatan, sehingga Balairung hanya mampu memproduksi satu tulisan mengenai COVID-19 yang membandingkan kebijakan beberapa negara dalam menyikapi pandemi” cerita Harits. Sementara itu Sri juga menceritakan bagaimana sulitnya menemui narasumber untuk liputan di tengah pandemi.
Senantiasa Mengawal Isu Kampus
Ada banyak sekali masalah-masalah yang bermunculan terkait dengan kampus dan kebijakan-kebijakan yang menyertainya akibat adanya pandemi. Protes di sosial media, hingga demo di jalan pun bermunculan. Fajar Junaedi mengatakan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi dan pers mahasiswa berperan menjadi watchdog bagi proses kuliah daring.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, LPPM Manunggal menurut Alfiansyah, telah menyoroti beberapa permasalahan di Undip seperti kebutuhan subsidi kuota, kebijakan rektorat yang dianggap pilih kasih, hingga UKT yang dianggap tidak transparan. Isu-isu ini kemudian disajikan oleh LPPM Manunggal dalam bentuk indepth hard news dengan mengusahakan untuk meng cover both sides.
Sementara itu, Harits justru melihat bahwa ada beberapa isu kampus yang tenggelam selama pandemi. Diantaranya adalah renovasi Gelanggang Mahasiswa UGM, pelaksanaan peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), hingga pembatasan terhadap kebebasan akademik pada diskusi bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengan Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang digelar oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS). Sementara itu, berbagai perspektif dihadirkan oleh BPPM Balairung lewat produk Jurnal dengan tema “Pandemi”.
LPPM Nuansa sendiri lebih banyak fokus pada permasalahan di dalam kampus seperti layanan-layanan akademik yang dirasa kurang dalam kuliah online. Juga menginfokan peraturan UMY tentang keberangkatan mahasiswa yang sedang exchange beserta layanan-layanan yang diberikan UMY ke mahasiswa seperti pemberian sembako ke mahasiswa dari UMY sebagaimana yang diterangkan oleh Sri Fatimah.
Junaedi menanggapi persoalan pers kampus ini mengungkapkan pers mahasiswa memang sebaiknya tidak menjadi humas universitas. Akan tetapi maraknya protes mahasiswa dalam penajaman isu-isu kuliah daring pun menurutnya kurang tepat. Pers kampus harus seimbang dalam melihat dua sisi, baik pihak universitas maupun mahasiswanya sendiri.
Comments