Pernikahan tak sesederhana kita mendeskripsikan cinta, sebab pernikahan jauh lebih kompleks dari itu. Terkadang, juga ada yang berkeinginan untuk poligami dalam keadaan yang tidak darurat.
Kendati saya belum menikah, namun saya bisa mengetahui hal tersebut dari orang-orang di sekitar. Dalam sebuah resepsi, saya pernah mendengar―saat sesi mau‘idhah hasanah―bahwasanya pernikahan itu ibarat gunung. Bila dilihat dari kejauhan ia begitu indah, tapi ketika didatangi (untuk dilewati agar sampai di puncak) ia penuh dengan jalur terjal yang tak mudah dilewati dan mungkin belum terbayang di kepala kita.
Apabila kita mencari waktu pernikahan yang tepat, nampaknya sampai kapan pun kita tidak akan pernah menemukannya, dengan catatan hal tersebut ditendensikan pada “omongan tetangga.” Tak percaya? Mari kita tengok?
Jika ada orang yang menikah di usia muda (awal), tetangga akan bilang, “Eh… itu masih umur segitu kok udah nikah sih? Jangan-jangan yang perempuan udah isi?” Dan kalau ada orang yang menikah di usia muda (akhir), tetangga akan berujar, “Eh… itu kok baru nikah di umur segitu sih? Dia nggak kenal lawan jenis atau gimana sih sebelumnya?” Haduh! Serba salah pokoknya. Wes, angel…. Angel….
Dalil Poligami dalam Islam
Bicara soal pernikahan, ada sebuah dimensi yang begitu rentang memicu kontroversi di masyarakat. Yap! Dia adalah poligami. Di Indonesia, tak sedikit kasus poligami yang terjadi. Namun, tentunya kali ini bukan hal tersebut yang hendak disorot dalam tulisan ini.
Dalam novel Surga yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, tertulis sebuah kalimat yang menyatakan bahwa laki-laki yang melakukan poligami itu didorong oleh nafsu. Namun, bukankah poligami selaras dengan ayat Al-Qur’an yang sudah tak asing lagi di telinga ini.
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ…
“…Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.”
Tapi tunggu, jangan terburu-buru! Ayat tersebut masih memiliki kelanjutan.
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ…
“…Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.” (QS. al-Nisa’/4: 3)
Maknanya apa? Poligami bisa dilakukan tetapi dengan syarat yang harus dipenuhi.
Pandangan Cak Nun
Cak Nun―sebagai orang yang memperhatikan isu-isu sosial―ternyata juga pernah mengulas pasal poligami. Dalam tulisannya yang berjudul, “Kawin Gelap, Poligami, Negara….” Cak Nun secara lugas menuliskan bahwa prinsip Islam soal perkawinan adalah monogami.
Menurutnya, poligami itu bukan prinsip melainkan “uang tak terduga.” Beliau memberikan analogi-analogi yang menurut saya sangat out of the box, salah satunya analogi shalat dengan berbaring. Semua mazhab fikih sepakat bahwa prinsip Islam terkait shalat (fardlu) itu harus dilaksanakan dengan berdiri. “Tetapi karena kamu hanya bisa berbaring, ya shalatlah dengan berbaring,” tulis beliau.
Artinya apa? Menurut Cak Nun, poligami itu boleh dilakukan tetapi jika keadaan sudah benar-benar darurat (memaksa seseorang untuk melakukannya). Beliau kemudian menambahkan, “Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa nafsu kelelakianmu bancar, maka engkau dipersilakan mengambil lebih dari satu perempuan.”
Lantas, bagaimana dengan fakta yang terjadi di lapangan? Selaras dengan yang ditulis Asma Nadia di atas, Cak Nun juga menyatakan bahwa mayoritas poligami yang terjadi di masyarakat adalah pelampiasan (nafsu) yang bersifat personal dan subjektif.
Bila kita mencermati ayat di atas, syarat untuk berpoligami adalah berbuat adil. Namun, perlu diketahui bahwa manusia tidak akan pernah mampu berbuat adil meskipun sangat menginginkannya sebagiamana disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 129. Penyebabnya adalah keadilan manusia itu selalu bersifat subjektif.
Keadilan yang benar-benar keadilan hanya ada pada Dzat Yang Maha Adil. Jadi, bila sudah tahu manusia tidak akan bisa berbuat adil, masihkah ada niatan untuk berpoligami dengan bekal, “Saya akan/pasti/mampu berbuat adil kepada mereka?” Yah, itu kembali kepada pribadi masing-masing tentunya.
Editor: Nirwansyah
Ilustrasi: YouTube
Comments