Ada banyak rencana yang harus ditunda atau ditiadakan sama sekali. Semua karena satu situasi, pandemi Covid-19.Termasuk diantaranya rencana berlibur, melancong ke tempat-tempat wisata, dan salah satu destinasi yang jadi favorit adalah gunung. Lanskap alam yang indah, belum lagi jika beruntung para pendaki dapat menyaksikan matahari tenggelam dan terbit dari tempat yang tinggi atau merasakan dingin pagi yang diselimuti kabut.

Setiap orang punya dorongan pribadi, mengapa bisa sampai memutuskan untuk pergi ke gunung. Mulai dari diajak teman, mungkin coba-coba saja dan hanya niat untuk konten media sosial, sebagai pelarian dari patah hati (sambil berharap semua hal terasa puitis ala Fiersa Besari yang beken itu), sampai alasan-alasan yang paling filosofis seperti ajang pembuktian akan kecintaan terhadap tanah air layaknya Soe Hoek Gie.

Namun satu yang pasti dan mengikat itu semua, adalah kata gunung itu sendiri. Selepas hidup yang berjalan monoton, gunung adalah tempat yang cocok untuk mencari hal-hal baru sekaligus melepas pikiran penat. Barangkali itulah yang orang-orang pikirkan, cari dan inginkan saat ini. Tetapi, siapa yang sempat-sempatnya merencanakan perjalanan ke gunung di tengah pandemi begini? Ya, pasti ada.

Sudah pada dapat kabar kan mengenai dicabutnya peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan akan diterapkannya new normal secara bertahap? Tempat wisata jadi prioritas dan kabar baiknya adalah beberapa gunung di kawasan Jawa sudah dibuka kembali.

Sebut saja Jawa Tengah dengan gunung Andong, Sumbing, Sigandul. Atau di Jawa Barat, gunung Papandayan, Cikuray dan lainnya. Kita boleh saja bergembira. Tapi tunggu dulu, ada setumpuk syarat yang harus dipenuhi, prosedur keamanan, dan protokol kesehatan ketat diberlakukan.

Resiko dan Kegembiraan dalam Mendaki Gunung

Hal paling pertama sekaligus yang sulit dari perjalanan mendaki gunung adalah bergerak. Berikutnya untuk tetap konsisten bergerak itu jauh lebih sulit. Memang langkah pertama itu mudah, tetapi lanjut bergerak hingga sampai pada langkah yang kesekian ribu itulah tantangannya.

Di gunung ada banyak resiko yang harus kita tanggung, seperti merasakan nyeri di kaki, kepala pusing, dada sesak karena pernafasan yang keliru, dan lain sebagainya. Tapi sebenarnya itu semua soal niat. Menjadi konsisten dan terus menerus setia pada niat awal amat penting. Ketika hal tersebut hilang, langkah kaki akan terhenti.

Sederhananya begini, ketika kita mendaki, yang menggerakkan kaki untuk berjalan bukan hanya kaki dalam pengertian harfiahnya. Ada sugesti dan perasaan lain yang bekerja, seperti misal: malu pada teman sependakian. Kadang-kadang frekuensi mendaki juga menentukan. Pastinya berbeda ketika baru pertama kali dan ketika sudah terbiasa mendaki.

Itulah yang bisa menjelaskan, kenapa di gunung kita merasakan lelah, tetapi sekaligus gembira dan tenang. Dan meski mendaki adalah perjalanan menempuh lelah, tetapi ia bukanlah sekedar puncak, dan tidak selalu tentang ambisi. Kira-kira Idealnya motivasi yang harus dibangun seorang pendaki, paling tidak sebagai berikut: menyaksikan keindahan alam secara fisik tak lebih dari bonus.

Mengapa Mendaki?

Sebab mendaki mengajari kita arti kata sabar, pertemanan, dan lain sebagainya. Mendaki juga adalah tentang berbagi cerita, menciptakan ruang kepercayaan satu sama lain. Orang-orang menjadi lebih cepat akrab ketika berada di tanjakan gunung, bercerita rasanya tak lagi sungkan, sekalipun pada orang yang baru kita kenal. Lepas dari perjalanan mendaki, tak jarang hubungan itu berlanjut bahkan sampai pada kisah yang lebih serius. Tak sekedar teman.

Ada banyak yang bisa kita lakukan, dapatkan dan rindukan dari mendaki. Seperti duduk menonton matahari terbenam sambil minum secangkir kopi sachet panas yang diaduk tidak dengan sendok aluminium melainkan dengan bekas bungkus kopi tersebut. Atau hal lainnya, termasuk rasa kangen untuk kembali lagi merasakan panas dinginnya udara gunung. Oh iya, sekedar disclaimer, saya sebetulnya hanyalah seorang pendaki amatiran yang ketagihan untuk kembali mendaki.

Dibukanya beberapa gunung di kawasan Jawa, paling tidak jadi obat awal rindu pada gunung yang mulai membuncah. Walaupun pandemi Covid-19 belum menunjukkan gejala akan selesai, tetapi demi untuk sebuah pendakian, wahai para pecinta alam. Bersiaplah.

Tabik.