Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru saja berulang tahun ke-6 pada 16 November lalu. Partai yang populer di media sosial (medsos) dan mempromosikan politisi-politisi muda ini berhasil ikut serta pada Pemilu 2019 karena lolos administrasi dan verifikasi faktual kurang dari lima tahun setelah pendiriannya. Namun, kelolosan PSI nggak diiringi dengan perolehan suara yang cukup untuk melewati parliamentary treshold dan melenggang ke Senayan. Bisa dibilang PSI menang di medsos, tapi kalah di bilik suara.

PSI Menang di Medsos

Mengamati sepak-terjang PSI memang menarik banget. Partai yang berlambang bunga mawar ini terus mewarnai jagat digital Indonesia. Kampanye dan branding yang diusung juga cukup segar, menjadi pembeda dibanding partai-partai lain yang identik dengan generasi tua.

Bukan sekadar segar, PSI pun bisa dibilang menang di medsos. Sebagai referensi, berikut pengikut medsos 5 partai pemenang Pemilu 2019 dibandingkan dengan PSI:

PDI-P
Instagram: 239 ribu
Twitter: 233,6 ribu

Partai Golkar
Instagram: 9.665
Twitter: 90 ribu

Partai Gerindra
Instagram: 549 ribu
Twitter: 550,7 ribu

Partai Nasdem
Instagram: 50,2 ribu
Twitter: 95,4 ribu

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Instagram: 76,8 ribu
Twitter: 88,4 ribu

PSI
Instagram: 230 ribu
Twitter: 136,1 ribu

Data di atas dengan jelas menunjukkan bahwa PSI hanya kalah jumlah pengikut dari Partai Gerindra dan PDI-P. Partai-partai lain yang jauh lebih dahulu berdiri dan dimotori tokoh-tokoh senior seperti Golkar, Nasdem, dan Gerindra memilki pengikut medsos yang kecil dibandingkan dengan PSI. Dengan demikian, secara peringkat PSI menang di medsos.

PSI juga nggak berhenti mempromosikan politisi muda. Partai ini didirikan oleh Grace Natalie, Isyana Bagoes Oka, dan Raja Juli Antoni, ketiganya merupakan sosok yang “junior” dalam kancah politik Indonesia. Grace dan Isyana lebih dikenal di dunia pertelevisian, sementara Raja Juli sempat menjadi Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) pada 1998-2000. Kini, PSI mengorbitkan kader muda semacam Giring Ganesha “Nidji”, Tsamara Amany, Rian Ernest, hingga Danik Eka–yang juga pernah menjadi Ketua Umum PP IPM.

Tokoh-tokoh muda dengan jumlah yang banyak dan peran yang vital di PSI menjadi pembeda dengan partai-partai lain. Suka atau nggak suka, kita harus mengakui bahwa PSI adalah partai yang paling mengakomodasi anak muda dibanding partai lain peserta Pemilu 2019. Memang ada, sih, partai lain yang memberi jalan buat anak muda, tetapi itu pun jumlahnya sangat minim dengan peran yang kerdil.

Kalah di Bilik Suara

Sebagai pendatang baru, PSI berhasil meraup 2,6 juta suara dan berada di atas partai-partai yang lebih tua semacam HANURA, PBB, dan PKPI. Salah satu paslon, Giring Ganesha, bahkan menjadi peraih suara terbanyak di Dapil Bandung dan Kota Cimahi, Jawa Barat. Meski begitu, secara naional PSI kalah di bilik suara dan nggak berhasil melenggang ke Senayan karena hanya memperoleh 1,89% suara nasional. Jauh dari parliamentary treshold sebesar 4%. PSI pun harus puas dengan 67 kursi di 6 DPRD Provinsi dan 37 DPRD Kabupaten/kota.

Kekalahan PSI membuktikan bahwa kemenangan di dunia maya saja nggak cukup, karena perpolitikan ditentukan dinamika dunia nyata. Hasil Pemilu 2019 menunjukkan bahwa PSI belum bisa memanfaatkan dengan baik potensi anak muda untuk dikonversi menjadi suara bagi mereka. Selain itu, ada beberapa hal yang patut disorot berdasarkan keikutsertaan PSI di Pemilu 2019 lalu.

Partai yang identik dengan warna merah ini mengikrarkan diri sebagai representasi anak muda. Namun, cukup banyak kalangan muda yang nggak simpatik dengan PSI, bahkan mengkritik PSI secara terang-terangan melalui medsos. Salah satu contohnya disuarakan akun Instagram mahasiswabergerak.

Akun ini menyinggung PSI yang menggembar-gemborkan kebaikan sawit, ikut arus dinasti politik, koalisi dengan PKS yang berseberangan ideologi, sampai perilaku politik yang mencerminkan politik orang tua. Hal ini membuat PSI sampai dilabeli “konsisten dengan ketidakkonsistenannya”.

***

Postingan di atas pun hanya salah satu contoh dari ekspresi anak muda yang nggak simpatik dengan PSI. Karena memang PSI meskipun didirikan dengan idealisme mau nggak mau mengikuti arus perpolitikan Indonesia. Mulai dari mendekat dengan pemerintah, mencari sensasi untuk membesarkan nama, hingga mengkompromikan ideologi untuk kepentingan elektoral.

Tentu saja, sikap PSI ini bisa dimaklumi dalam perpolitikan Indonesia yang pragmatis. Namun, PSI yang terlanjut mencitrakan diri sebagai “partai anak muda” tentu perlu untuk lebih mendekat lagi kepada anak muda. Progresivitas, inklusivitas, pandangan anti-mainstream, sampai sikap-sikap anti korupsi tanpa pandang bulu menjadi terobosan yang dirindukan dari PSI. Jika terobosan semacam ini digencarkan oleh PSI, mungkin-mungkin saja anak muda makin banyak yang tertarik untuk bergabung dan PSI dapat berperan lebih besar lagi dalam politik di masa mendatang.

Harapan Atau Keputusasaan?

Sepak terjang PSI sejauh ini menjadi harapan bagi anak muda untuk memiliki representasi dalam perpolitikan Indonesia. Juga harapan memiliki perwakilan yang nggak terseret arus politik yang dicitrakan buruk dan sarat tindakan-tindakan nggak etis. Sebenarnya PSI bisa menjadi harapan saat perpolitikan didominasi orang tua dan dijalankan dengan sistem kepartaian yang jauh dari nilai-nilai demokrasi.

Namun, sebaliknya, PSI justru bisa menambah panjang daftar partai yang nggak berpihak pada rakyat dan mementingkan kepentingan kelompok tertentu jika melanjutkan kontroversinya saat ini. PSI juga masih harus berjibaku untuk menambah perolehan suara di Pemilu 2024 agar peran PSI cukup untuk memberikan perubahan lewat kursi DPR RI.

Jika berhasil memenuhi ekspektasi, PSI bisa menjadi harapan. Jika gagal membuktikan diri dan terus terlibat kontroversi yang nggak sejalan dengan anak muda, PSI justru bisa menjadi simbol keputusasaan anak muda akan kacaunya perpolitikan di Indonesia.

Editor: Ulin