Partai Solidaritas Indonesia (PSI), terhitung tanggal 16 November, pasca keikutsertaanya pada tahun 2014 lalu sudah berjalan enam tahun di panggung perpolitikan Indonesia. Awal kemunculan partai yang kontroversi soal pembelaan dan dukungannya terhadap Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta (2017), sampai kedekatannya yang diangap ‘menjilat’ pemerintah Jokowi sebagai pertahana, membuat nama PSI semakin naik.

Partai Solidaritas Indonesia

Meski mendapat perhatian publik, PSI masih lemah dalam perlolehan suara. PSI juga gagal masuk parlemen. Tercatat dalam pemilihan legislatif tahun 2019 lalu, hanya mendapat tiga juta suara. Jika dihitung dalam satuan persen, hanya sekitar 2%. Angka ini sangat kecil jika ingin bersaing dengan sistem presidential threshold sebesar 20%. Artinya, diusia enam tahun, PSI tidak memiliki kekuatan apa-apa di level nasional.

Saya yakin PSI sadar betul level mereka masih di bawah. Mereka menyiasati dengan menjadikan milenial —atau lebih konkretnya anak muda perkotaan—sebagai ceruk utama suara politik PSI. Singkatnya, mereka ingin membidik kaum muda agar sudi memilih PSI.

Jumlah milenial memang besar di Indonesia, menurut BPS tahun 2018 berjumlah 34%. bayangkan jika PSI berhasil merauk suara milenials secara keseluruhan. Jelas mereka akan mengalahkan partai terkuat saat ini, PDIP yang mendapat 19% suara dalam pemilihan legislatif tahun lalu.

Upaya Meraup Suara Milenial

Upaya PSI meminang para milenial sangat mencolok. Mereka berusaha membanguan strategi komunikasi politik yang mengarah ke milenial. Tujuan atau goals, sekaligus beban berat PSI, yang ingin dicapai adalah membangun citra partai yang dekat dengan anak muda (milenial).

Misal, PSI menyebut kader mereka dengan sebutan ‘bro’ dan ‘sis’. Dalam keseharian panggilan bro dan sis biasa digunakan anak muda. Jelas gimik tersebut agar terkesan PSI dekat dengan milenial. Bahkan dalam acara ulang tahun PSI yang ke-empat, Grace Natalie, ketua umum partai menyapa Presiden Jokowi dengan sebutan ‘Bro Jokowi’.

PSI juga memasang iklan partai di TV swasta nasional yang berusaha menampilkan Grace Natalie, sebagai representasi model milenial di panggung politik Indonesia. Narasi yang digunakan sederhana, malah tidak sama sekali menyinggung visi partai. Misal dalam iklan tersebut Grace mengatakan “seberapa Indonsia kamu? Kemarin saya makan ketroprak, pakai nasi”.

Jika dianalisis menggunakan pendekatan semiotika–ilmu tetang mengungkap makna dibalik simbol– dari mulai logat, bahasa yang sederhana, bahasa tubuh Grece, sampai suasana yang berusaha dibangun. PSI, melalui iklan tersebut, berusaha membangun citra, bawah PSI adalah partainya milenial, dan Grece sebagai figurnya.

Namun sayangnya, upaya itu gagal. Respon publik justru sebaliknya, malah menyoal iklan PSI yang dibilang ‘absrud’ dan tidak memiliki pesan yang jelas terkait visi partai.

Potensi suara milenial ini memang sangat mengiurkan. Tidak hanya bagi PSI, potensi ini juga disadari partai lain. Namun masalahnya, apakah milenial peduli dengan isu politik? Lebih spesifik lagi, kalaupun ada yang peduli dengan politik Indoneisa, apakah mereka mau memilih PSI?

Milenial dan Politik

Generasi milenial memang banyak, KPU mencatat setidaknya sekitar 70-80 juta dari 183 pemilih tetap adalah milenilas. Namun milenial tidak teralu berminat membahas isu politik.

Christiany Juditha dan Josep J. Darmawan dalam jurnal yang dipublikasikan oleh Kominfo tentang partisipasi politik milenial, menyebut setidaknya ketika ditanya soal ketertarikan soal topik politik di media, mereka menyebut biasa saja (40.5%) dan sisanya (35.8%) mengatakan tertarik. Sebenarnya presentase sudah cukup tinggi, mereka setidaknya menonton dan mengikuti sedikit mengain perkembangan politik di Indoneisa.

Mereka juga masih mau berpartisipasi dalam pemilihan umum dan legislatif di tahun 2019 lalu, data menujukan angkanya cukup besar, 93% responden menyatakan bersedia.

Namun, partisipasi atau keterlibatan langsung menunjukan angka yang rendah. Hanya 5.2% sampai 5.8% mau mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan sebanyak 75% responden menyatakan enggan menjadi pedukung aktif partai tertentu.

Data yang sama menunjukan sebanyak 73% melinials juga tidak mau berpartisipasi dalam aksi turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah. Hanya sekitar 2% sampai 5% yang menyatakan mau berpartisipasi aksi ke jalan untuk mengawal jalannya pemerintahan.

Ini juga yang menjadi penyebab PSI–yang berusah keras menampikan PSI sebagai partainya generasi milenial– gagal di perlohean suara parlemen tahun lalu. Sebab sejak awal milenial enggan terlibat langsung dan menyatakan dukungan secara loyal ke salah satu partai, termasuk PSI.

Beban Berat Partai Solidaritas Indonesia

Saya selalu latah ketika ada yang menyebut PSI, pikiran saya selalu ke arah PSI milik Sutan Syahrir. Meski berbeda zaman, namun ada kesamaan di antara keduanya. Sama-sama mendapat perolehan rendah di pemilihan legislatif, PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dipimpin Sutan Syahrir hanya meperoleh 2% suara.

Meski demikian, di pemerintahan eksekutif, Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri pertama ketika Republik Indonsia menggunakan sistem parlementer.

Lain cerita Partai Solidaritas Indonesia yang dipimpin oleh Grace Natalie, entah itu di eksekutif maupaun di legislatif tidak memiliki pengaruh apapun. Belum lagi sistem presidential threshold menambah beban berat partai, sistem ini membuat partai-partai kecil hanya menjadi anak bawang, sebab tidak bisa mengajukan bakal calon presiden dan wakil presiden, atau sekedar memunculkan calon alternatif.

Citra politik PSI di mata publik juga menjadi pekerjaan rumah. PSI terlanjur dianggap sekuler dan anti-Islam, karena mengkritik Perda Syariah. Belum lagi usaha PSI mengambil hati milenial terhambat karena komunikasi politik mereka yang buruk.  

PSI juga harus menyadari bahwa antara politik, milenial, dan PSI, masih terpisah jarak yang jauh. PSI, jika ingin kukuh menjadikan milenial sebagai ceruk suara dan komoditi politik mereka, maka harus terlebih dahulu mendekatkan mereka dengan politik praktis, sampai benar-benar mau menjadi pendukung aktif. Tentu ini sulit, bahkan menjadi beban berat bagi PSI. Toh apa untungnya bagi milenial yang cenderung tidak mau ribet, dan salalu ingin simpel jika mendukung PSI? Biar milenial yang menjawab.

Editor: Nabhan
Gambar: Desainfree