Anak milenialis selalu menjadi perbincangan pada saat ini. Setelah penulis banyak membaca artikel-artikel tentang anak milenial, penulis menemukan betapa banyak stigma dan pandangan tentang anak yang mendapat predikat milenial. Misalnya, bahwa anak milenial terkenal manja, banyak membuang waktu mereka untuk internet, anti sosial, generasi yang narsistik, dan bahkan juga dicap sebagai generasi yang rusak.

Stigma Milenial dan Cerita yang Menggugah

Mendengar stigma-stigma anak milenial tersebut mengingatkan penulis pada cerita-cerita orang tua penulis tentang betapa hebatnya perjuangan mereka ketika bersekolah zaman dahulu. Jarak berpuluh-puluh kilo pun mereka tempuh dengan sepeda ontel. Bagi yang ekonominya kurang memadai, berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan, hanya demi selembar ijazah.

Tak jarang juga mereka harus merelakan diri tidak bersekolah agar adik mereka bisa melanjutkan sekolah. Kisah-kisah heroik tersebut bagi penulis sedikit memberikan motivasi tersendiri setelah meratapi stigma anak milenial.

Sebenarnya hal yang perlu dipertanyakan adalah, siapakah yang bertanggungjawab atas perubahan karakter dan mental para anak milenial ini? Apakah anak milenial adalah produk dari modernisme dan perkembangan teknologi yang niscaya tidak dapat dihindari? Apakah orang tua yang kurang mampu menyaring dan memilah terkait hal-hal yang layak dikonsumsi, baik informasi atau makanan bagi anaknya?

Milenial: Tenggelam atau Bertahan?

Jawaban atas pertanyaan tersebut pada akhirnya akan beragam sesuai dengan sudut pandang penjawabnya. Bagi para sosiolog, misalnya mereka akan menjawab bahwa terjadinya arus globalisasi yang deras ditambah dengan teknologi yang canggih meniscayakan berubahnya mental dan karakter dari generasi milenial.

Hal ini dapat diibaratkan dengan nelayan yang bekerja dilaut. Maka mau tidak mau, ia pasti akan basah dan masuk kedalam air laut. Begitu pula anak milenial yang terlahir dalam modernisasi. Mau tidak mau mereka akan tenggelam di dalamnya.

Lain halnya dengan para ahli psikologis. Mereka akan mengatakan bahwa jiwa anak meskipun sebagian besar dipengaruhi lingkungan, namun kognitif anak tetap mampu mengentas anak tersebut dari pengaruh buruh modernisme. Kognitif anak tidak saja berkaitan dengan pengetahuan, tetapi juga moral dan akhlak serta keimanan. Anak yang kognitifnya senantiasa dibimbing dengan baik oleh orang tuanya akan mampu bertahan di permukaan arus globalisasi dan modernisme.

Lantas pertanyaan selanjutnya ialah, bagaimana kita yang mungkin telah tenggelam dalam arus globalisasi dan modernisme, yang sudah terlanjur jatuh pada zona nyaman agar bisa kembali ke permukaan dan bertahan diri menyelamatkan jiwa kita?

Mari Sama-sama Mentas

Beberapa waktu yang lalu penulis menemukan jawaban yang menurut penulis sangat worth it dan cukup menggugah hati bagi permasalahan anak milenial di atas. Dalam salah satu kanal di Youtube, mbah Nun (sapaan akrab Emha Ainun Najib) ditanya perihal riyadhoh atau semacam usaha bagi kita yang telah terlanjur kedalam kemaksiatan.

Dalam konteks ini penulis ingin juga mengaplikasikan riyadhoh ala mbah Nun ini bagi kita para kaum milenial yang terjerumus dalam kemaksiatan (arus negatif) globalisasi dan modernisme. Beliau mengutarakan bahwa ada dua langkah utama dalam riyadhoh tersebut, yaitu melakukan apa yang tidak kita sukai, atau menjauhi apa yang kita sukai.

Lakukan yang Tidak Kita Sukai

Langkah pertama yang dapat kita lakukan untuk mengentas diri dari arus negatif globalisasi dan modernisme adalah dengan melakukan apa yang tidak kita sukai. Misalnya, bagi kita yang kurang suka dengan belajar, baik membaca buku, atau berangkat ke sekolah. Maka mulai hari ini juga, mari kita melakukan hal-hal tersebut. Mulailah untuk suka membaca buku, mulailah untuk semangat bersekolah, mulailah untuk menghadapi ujian dan sebagainya dalam kurun waktu satu bulan.

Selain itu, ketika kalian malas untuk berdzikir, malas untuk membaca Al-Qur’an, malas mendengarkan pengajian. Maka mulai hari ini juga mari kita semua melaksanakan semua hal itu dalam kurun waktu satu bulan. Jika riyadhoh ini berhasil, maka kita akan merasakan diri kita menjadi pribadi yang baru dan tentu saja lebih baik dari yang sebelumnya.

Tinggalkan yang Kita Sukai

Jika kalian merasa berat untuk melakukan hal-hal yang tidak kalian sukai, maka langkah yang dapat kalian lakukan untuk mengentaskan diri, yaitu dengan meninggalkan hal-hal yang kalian sukai. Bagi kalian yang sekarang suka dan sering bermain game, sering menghabiskan waktu untuk browsing dan bermedia sosial, sering merebahkan diri. Maka mulai sekarang tinggalkanlah apa yang kalian sukai tersebut.

Mulailah dengan tantangan-tantangan bagi diri kalian. Jika kalian suka melakukan keburukan, suka melakukan maksiat. Maka mulai saat ini cobalah untuk meninggalkannya. Mulailah Riyadhoh ini dalam kurun waktu satu bulan. Maka kalian akan berhasil kepermukaan dan kembali bertahan diri melawan derasnya arus buruk globalisasi dan modernisme.

Akhir kata dari penulis, kita sebagai masa depan baik bagi bangsa dan agama, sudah saatnya kita aware terhadap ketenggelaman kita dalam arus globalisasi dan modernisme yang tidak sedikit membawa keburukan. Kita harus mampu menjadi para pejuang yang bertahan serta menjadi penolong bagi sesama kita yang masih tenggelam dan bersama-sama menuju ke permukaan.