Penjelasan soal ibadah puasa bukan hanya menahan untuk tidak makan dan tidak minum sudah jamak kita dengar. Ya! Puasa itu juga tentang menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal negatif; misalnya menghujat, rasan-rasan, berbohong, melakukan pembodohan publik, mengemplang pajak, atau makan duit rakyat. Seluruh keburukan yang disebutkan itu berorientasi merugikan orang lain.

Lantas, bagaimana dengan keburukan yang merugikan diri sendiri? Haruskah kita menahan diri juga?. Sebenarnya, baik sedang puasa maupun tidak, yang namanya keburukan itu ya, harus dihindari. Namun, barangkali dengan puasa—khususnya di bulan Ramadan—kita punya fokus yang lebih besar untuk mengikis perkara-perkara negatif yang biasanya kita lakukan.

Kita, para anak muda, mungkin sedang atau pernah memasuki fase quarter-life crisis, sebuah fase di mana kita merasa galau dan/atau khawatir terhadap kehidupan kita di masa mendatang. Fase ini jelas sangat tidak menyenangkan sebab pikiran kita begitu gaduh. Buruknya kondisi ini kian diperparah oleh kedekatan kita dengan media sosial.

Oke! Saya setuju bila media sosial punya beberapa manfaat. Contohnya, batas antar wilayah jadi melebur. Sehingga kita dapat berkomunikasi dengan mudah, dan cepat terhadap mereka yang tinggal berjauhan. Namun, di sisi lain ada dampak negatif—yang mungkin tidak kita sadari—yang menyerang personal kita.

Pertama: Sibuk Membandingkan Diri

Contoh, kita kerap memposting aktivitas keseharian kita yang berpotensi mengundang perhatian orang lain. Lalu, tentang seberapa keras upaya kita dalam merengkuh banyaknya jumlah like. Tak berhenti di situ, beberapa dari kita bahkan sampai membeli followers demi membuat akun media sosialnya terkesan lebih unggul daripada yang lain. Semua itu merupakan indikasi besar bahwa kita sebenarnya sedang riuh berebut tempat untuk eksistensi diri masing-masing.

Pertanyaannya, apakah hal termaktub salah? Tidak juga. Bagaimana pun mendapat perhatian adalah kebutuhan dasar tiap manusia. Hanya saja, ketika hal itu sudah sampai pada taraf yang “berlebihan”, tentu ia bukan lagi merupakan kebutuhan dasar.

Memanfaatkan Momen Ramadan

Oleh sebab itu, kita harus paham batasnya. Melalui bulan Ramadan ini, saya rasa kita punya cukup waktu untuk merenungkan seberapa banyak perhatian orang lain yang kita butuhkan. Yah…..hitung-hitung sambil menunggu waktu berbuka atau melewati malam setelah sholat tarawih, daripada menyibukkan diri memantau media sosial, ada baiknya merenungkan hal yang disebut barusan.

Dahaga atensi mungkin tak akan bisa hilang dari diri kita. Namun, penting bagi kita untuk bisa mengontrolnya tetap dalam porsi yang wajar. Pasalnya begini, ketika kita terlalu haus atensi, kita akan terus mencarinya. Jika atensi yang kita dapat ternyata lebih sedikit dari yang kita kira sebelumnya, ada 2 hal yang mungkin terjadi; kecewa atau melakukan hal baru yang lebih “gila”.

Perkara ini—dalam penilaian subjektif saya—malah akan melelahkan diri kita sendiri. Mengapa? Sebab kita tanpa henti mencari validasi orang lain. Padahal, tak sedikit perkara yang sebenarnya tidak begitu membutuhkan perhatian orang lain. Jadi, pertanyaannya sekarang, bisakah kita sedikit menahan dahaga atensi ini?.

Kedua: Terdoktrin, “Rumput Tetangga Tampak Lebih Hijau”

Menampilkan segala yang diinginkan. Sayangnya kita kerap tidak menyadari bahwa apa yang ada di media sosial itu penuh dengan manipulasi. Apa yang ditampilkan individu—termasuk kita—di media sosial itu adalah sesuatu yang dianggap “terbaik”. Sebagai misal, saat kita berfoto bersama orang banyak, sebelum memostingnya di media sosial kita pasti melakukan pemilahan terlebih dahulu.

Biasanya, foto yang kita pilih adalah foto di mana ekspresi/pose kita sendiri terlihat keren (atau minimal tidak malu-maluin). Bagaimana dengan ekspresi orang lain? Kita cenderung tidak peduli terhadapnya.

Menariknya, meskipun kita dengan sadar melakukan praktik tersebut, di sisi lain kita justru seolah lupa bahwa orang lain juga berbuat hal yang sama. Apa buktinya?. Saat orang lain memosting foto dirinya (atau kegiatannya), kita—biasanya—akan membandingkan diri kita dengan dia.

Dalam hati mungkin kita beranggapan bahwa kita telah ketinggalan dari orang lain. Ya! Kita melakukan komparasi antara diri kita dengan dia. Sebenarnya kita tak pernah sekalipun berniat melakukannya. Tapi, entah mengapa, perasaan membandingkan diri itu hampir selalu muncul. Tentu! Sangat menyebalkan menyambut perasaan negatif yang datang tiba-tiba.

Saatnya Merenung

Lalu, apa yang mesti kita lakukan untuk menghadapi problematika di atas—khususnya di bulan Ramadan ini?. Lagi-lagi, merenung sejenak sangat perlu kita lakukan. Tarik napas, pikirkan hal-hal baik, bertanya pada diri sendiri tentang apa yang bisa dilakukan, saya rasa semua itu bisa sedikit membantu.

Sebab, bila kita tak pernah berusaha meminimalisir perasaan “membandingkan diri” itu, ya…..kita akan terus ditundukkan olehnya. Memang benar, membandingkan diri itu tak selamanya negatif. Jika kita kian bersemangat untuk beraksi supaya tidak stagnan, maka membandingkan diri itu sah-sah saja. Sayangnya, mayoritas dari kita malah terjun bebas ke jurang rendah diri.

Tanpa kita sadari, “aturan umum” yang selama ini kita ikuti malah membuat lelah diri kita. Bikin story, mengejar jumlah like & follower, harus selalu mengikuti tren, dituntut mengenal nama-nama influencer. Jika kita tidak mengikuti arus tersebut, kita seolah merupakan individu yang tidak relevan dengan zaman sekarang. Padahal, bila kita keluar dari arus termaktub, itu tak ada salahnya. Hal yang membuatnya tampak salah hanya penilaian dari orang lain—yang sebenarnya tak memberi manfaat pada diri kita.

Menjadi pengguna media sosial adalah keharusan di masa ini. Namun, kita harus menyadari pula bahwa ada perkara yang membuat diri kita lelah sebagai pengguna media sosial. Puasa mengejar validasi orang lain dan puasa membandingkan diri—semestinya—mutlak kita lakukan. Kita harus mulai bertanya, “Untuk apa kita menghabiskan waktu yang kita miliki demi sesuatu yang khayali?”.

Tak mengapa sesekali mencari atensi orang lain, asalkan kita tidak sampai kehilangan diri kita. Tak ada salahnya pula membandingkan diri dengan orang lain, asalkan itu demi  memperbaiki diri. Jadi, pada intinya, semua ini tentang mentransformasi sesuatu yang melelahkan menjadi sesuatu yang (sedikit) bisa memberi manfaat pada diri kita.

Editor: Faiz

Gambar: Pexels