An-Nuzūl berarti menempati atau menempati ‘suatu’ tempat. Sedangkan mimbar Ramadan sering memaknai Nuzūl Al-Qur’an sebagai peristiwa ‘mukjizat’ turunnya Al-Qur’an. Apabila digabungkan, kita boleh mengartikannya: “Nuzūl Al-Qur’an” merupakan peristiwa turunnya satu atau beberapa ayat di suatu tempat, yang di mana ayat-ayat tersebut menempati porsi untuk menjadi mukjizat pada kasus tertentu.

Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh manusia kepada jalan yang lurus, membedakan mana jalan yang terang dan gelap, memberitahukan peristiwa di masa lampau sebagai pelajaran, dan bukti kebenaran setiap jalan yang diarahkan oleh Al-Qur’an.

Sehingga dari fungsi umum di atas, Al-Qur’an dijadikan rujukan primer (sumber) dalam perumusan hukum Islam. Mushaf ayat suci yang biasa sobat milenialis baca setiap subuh dan ba’da tarawih di bulan Ramadan ini merupakan warisan ilmu dari tradisi Islam yang terus berkembang.

Kalam ilahi yang turun berangsur tersebut secara sistematis disusun oleh para profesional nan saleh. Mengapa Al-Qur’an turun berangsur? Salah satunya boleh jadi karena ayat Al-Qur’an tersebut memiliki latar belakang dinamika kehidupan sosial tertentu pada zaman Nabi Saw.

Terdapat Pertengkaran

Jika sobat milenalis menjawabnya dengan pendekatan milik Az-Zarqani, setidaknya ada tiga peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Pertama, terdapat pertengkaran (khusūmah) yang sedang berlangsung. Tentu Nabi SAW, tidak serta merta memutuskan suatu perkara kecuali telah turun landasan yang menyertainya. Dinamika itulah yang menjadikan ayat Al-Qur’an turun berangsur-angsur seiring kebutuhan akan sebuah solusi.

Kesalahan Di Luar Akal Sehat

Kedua, karena seseorang membuat kesalahan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Seperti pada peristiwa pertama, permasalahan sosial yang sedang berjalan kala itu akan terus mendapatkan jawaban dari Yang Maha Bijaksana. Di sini pula Al-Qur’an dapat menjadi bukti yang autentik dan dapat diterima akal sehat, bahkan logika yang paling tinggi pun akan selalu relevan dengan Al-Qur’an.

Mohon maaf agak OOT (Out of Topic) dulu nih, sobat milenalis yang sekarang tadarusan pasti sudah melewati Juz 1 kan? Kalau masih ingat Surah Al-Baqarah ayat 2, di situ kalimatnya żālikal-kitābu lā raiba fīh (kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya). Oleh karenanya ada seorang sarjana Muslim di Kuala Lumpur Malaysia, bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas sedang berupaya melakukan ‘Islamisasi’ ilmu pengetahuan.

Agenda tersebut adalah upaya pembebasan ilmu pengetahuan moderen dari mitos, takhayul, nasionalisme buta, dan kepentingan keberpihakan. Karena bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah otoritas akal dan bahasa manusia. Kembali lagi ke Al-Baqarah ayat 2, sumber pengetahuan bagi Umat Islam ialah tidak berangkat dari keraguan sebagaimana sains moderen.

Oleh karenaya jika dalam beragama saja kita tidak ada keraguan, bagaimana dengan pengetahuan? Paling tidak sobat milenialis menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dengan ‘dikawal’ nilai-nilai spiritualitas dan Ketuhanan sebagai sandaran.

Cita-Cita dan Harapan Umat Muslim

Jadi kemana-mana nih, yuk lanjut! Ketiga, Az-Zarqani melibatkan cita-cita dan harapan Kaum Muslimin di zaman Nabi Saw sebagai latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an. Sebab ketiga ini lebih terbuka dan universal bagi Umat Islam. Latar belakang ini terkadang menjadi suatu prediksi pemikiran Sahabat, salah satunya adalah Umar bin Khatthab. Dari sini, isi Al-Qur’an bukan hanya merangkum dinamika masa lalu, lebih dari itu kita bisa menjadikannya untuk berangkat ke masa depan.

Sobat milenalis sekalian, mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an merupakan hal baik, namun akan lebih bijak lagi agar mengimplementasikan nuzūl Al-Qur’an sebagai solusi akan kebutuhan sosial, memberdayakan akal dan etika untuk perkembangan ilmu pengetahuan, dan tentu saja menjadikan pelajaran nuzūl Al-Qur’an ini untuk merumuskan cita-cita maupun harapan baik di masa mendatang.

#RamadanAlaMilenialis

Editor: Assalimi

Gambar: Pexels